Chairil A Adjis SH
Buku Kriminologi Syariah
Dudi Akasyah, SAg, MSi.
Chairil A Adjis
Selasa, 02 September 2014
Kamis, 21 Agustus 2014
Disorientasi Demokrasi Indonesia, Realitas Rakyat Menolong Caleg
DISORIENTASI
DEMOKRASI INDONESIA
Realitas
Rakyat Menolong Caleg
Chairil A Adjis & Dudi Akasyah
Pragmatisme yang Berantai
Realitas
menunjukan bahwa masyarakat yang mencoblos caleg memiliki paradigma
"menolong caleg" agar mendapat kursi DPR/DPRD. Di sisi lain, caleg
pun tidak mendidik rakyat, mereka dengan naif
meminta kepada masyarakat agar memilih dirinya, slogan caleg: "berilah
saya kesempatan menjadi anggota dewan." Ada juga caleg yang mengaku bahwa
"ia ingin menjadi anggota dewan adalah untuk meningkatkan taraf hidupnya,
ingin memperbaiki nasib (mengadu nasib), atau ingin meningkatkan status
sosialnya."
Dia
mengaku bahwa perkataannya itu adalah kejujuran, namun apakah tipe seperti ini
orangnya yang akan memajukan kepentingan orang banyak, padahal niat awalnya
saja untuk kepentingan sendiri. Jika paradigmanya demikian maka wajar jika
warga ingin dibayar untuk mencontrengnya.
Sebelum
caleg menjabat maka ia sudah merencanakan hal-hal apa saja yang akan dilakukan
untuk mendatangkan keuntungan finansial dirinya. Mustahil ia mampu merencanakan atau mengkonsepsikan
rencana kemaslahatan bangsa.
Kenapa Caleg yang Diusung Parpol Tidak
memiliki Kapasitas
Kenapa
caleg yang diusung parpol tidak memiliki kapasitas? Sebab partai yang merekrut
bukan memandang kapasitas caleg melainkan kepentingan pragmatis, yaitu caleg
yang populer, bukan caleg yang memiliki kapasitas. Caleg memiliki popularitas
dapat berdasarkan kapasitas, sensasi, artis, dan politik uang. Yang menjamur
subur pada pileg sekarang adalah partai memilih sosok populer dari artis dan
kalangan berduit.
Jika
demikian siapa yang bisa memberikan pendidikan politik? Partai politik, bertujuan pragmatis yakni dorongan mendulang suara
dengan cara instan dengan cara merekrut caleg dari kalangan berduit dan artis. Caleg tak mampu menjabarkan
konsep-konsep demokrasi kepada masyarakat. Dan masyarakat (calon pemilih) memandang caleg dan politik hanya
terbatas kepada menolong caleg agar duduk di kursi empuk sehingga mereka pun
lebih memandang siapa caleg yang memberinya bantuan instan sebagaimana layaknya
bantuan sembako dan mie instan.
Kini
tidak ada lagi pihak yang dapat mengajarkan tentang konsep ilmiah dari sistem
demokrasi: kepentingan jangka pendek, jangkah menengah, dan jangka panjang
untuk stabilitas bangsa dan negara; semua kalangan sudah terjebak dengan sisi
buruk dari demokrasi yaitu ambisi kekuasaan dan kepentingan pragmatis. Tidaklah
mengherankan jika output yang
ditimbulkan adalah kerusuhan, demo, dan konflik yang tak berkesudahan, di sisi
lain perekonomian negara makin terpuruk, ancaman disintegrasi, dekadensi moral,
dan lunturnya semangat nasionalisme. Hal inilah sebenarnya ancaman terbesar
bangsa.
Sebuah
negara yang disibukkan dengan urusan konflik internal maka negara itu tak akan
melangkah menuju negara yang lebih baik, bahkan sebaliknya jika dibiarkan maka
bersiaplah menuju jurang keterpurukan nasional.
Antar caleg satu partai saja saling
sikut memperebutkan suara
Berdasarkan
kesaksikan salah-seorang Caleg bernama N, dari partai D, di Propinsi Bali. Ia
telah mendapatkan 1.000 suara, dan teman satu partainya bernama I mendapat 14
suara. Namun, I mengkalim dia pemenangnya padahal yang dia peroleh hanya 14,
formulir C1 hasil penghitungan KPU Kabupaten dipegang caleg I. Caleg N meminta
agar Caleg I membuka formulir C1 agar bisa dilihat bersama-sama namun namun I
tidak mau.
Caleg
N mengetahui bahwa suaranya yang awalnya 1.000 menjadi menurun ke angka 200,
yang berarti ia terancam gagal menduduki kursi DPRD Kabupaten. Kasus yang
menimpa Caleg N ternyata banyak menimpa caleg yang lainnya.
Proses
penghitungan dimulai dari TPS, KPU Kabupaten, dan seterusnya rentan dengan
campur tangan Caleg yang sangat berambisi. Ternyata Caleg harus mempersiapkan
uang banyak, tidak hanya saat hajatan pencoblosan melainkan setelah pemilu
selesai, caleg juga harus "mengawal" surat suara agar tidak dicuri
oleh caleg lain, pengawalan dimulai dari berbagai TPS, KPU Kabupaten, KPU
Propinsi, sampai pusat. Tentunya, stok uang para caleg harus tetap tersedia,
untuk membiayai agar suara yang telah diperoleh tidak hilang di tengah jalan,
jangan sampai kasus yang menimpa beberapa caleg terpilih yang akhirnya "gigit
jari" tak jadi melenggang ke kursi dewan yang terhormat.
Politik
itu bagus jika digunakan untuk mengkritisi pemimpin yang tidak adil, namun
politik dapat merusak jika dilakukan terhadap pemimpin yang adil. Sebab iklim
politik selalu memunculkan intrik. Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang adil
lebih banyak ketimbang pemimpin yang tidak adil, itulah kenapa jaman dulu
peradaban lebih mudah terbentuk.
Pemilu ulang yang Merugikan
Terlepas
dari kesalahan di KPU atau teknis di lapangan, bahwa pemilihan ulang telah
merugikan aktifitas rakyat. Kebanyakan pemilihan ulang diakibatkan oleh
kekecewaan caleg karena suaranya kalah. Kekecewaan seperti itu adalah
subyektif, bukan kekecewaan orang banyak (masyarakat). Kekecewaan caleg yang
merugikan rakyat
Kita
lihat, ketika mereka hendak mencontreng, mereka naik ojek ke TPS, mereka
mengeluarkan uang untuk sekedar mengganjal perut menunggu antrian
pencontrengan, pekerjaan di sawah mereka tinggalkan, harusnya hari itu mereka
memperoleh nafkah dari mata pencahariannya.
Kenapa
faktor kepentingan rakyat tidak dipertimbangkan? Pencoblosan ulang itu menyita
waktu rakyat yang ke sawah ladang. Jangan hanya lantaran kekecewaan atau
perseteruan antar caleg maka rakyat yang dikorbankan. Kita lihat, hasilnya
partisipasi masyarakat saat pencoblosan ulang sangat rendah, mereka lebih
memilih bekerja untuk menafkahi keluarga, hal itu tentu lebih realistis jika
kita juga diposisikan seperti mereka.
Sekarang
sudah bukan saatnya lagi memperkenalkan pentingnya pemilu, sebab rakyat sudah memandang
bahwa pemilu itu tak lebih dari sekedar memanggul caleg agar duduk di
kekuasaan.
Kampanye
yang disampaikan tentang wawasan kebangsaan dan nasionalisme tak akan berarti
apa-apa, sebab "TST (tahu sama tahu) lebih bergema mengalahkan segalanya.
Misi
dari pihak yang berkampanye adalah bagaimana supaya rakyat mencontreng saya,
dan di sisi lain rakyat pun berpikir sumbangan materi apa yang akan Caleg
berikan untuk saya. Caleg memberi “sesuatu” kepada rakyat maka rakyat pun akan
memberi suara.
Warga yang mencontreng perlu diberi
konsumsi?
Ada
anekdot dari para warga yang hendak memilih, mereka mengatakan bahwa biasanya
kalau menghadiri suatu undangan maka mereka selalu disediakan
prasmanan/konsumsi. Namun jika memenuhi undangan pencontrengan tidak disediakan
apa-apa. Padahal untuk menghadiri TPS mereka kadangkala datang dari kampung
yang berbeda, membawa keluarga yang otomatis harus membawa uang untuk membeli
jajanan. Di TPS mereka juga harus antri di tengah terik matahari, menahan haus
dan lapar, apalagi di kanan kiri berjejer para pedagang.
Padahal
warga sengaja datang meninggalkan pekerjaan. Pegawai negeri dan pegawai swasta
memang diliburkan, tetapi mereka tetap memperoleh gaji. Kalau rakyat
meninggalkan pekerjaan (berdagang/bertani/nelayan) jika meninggalkan pekerjaan
maka dari mana mereka dapat makan.
Logikanya,
apakah pemilih yang harus membawa bekal makanan atau konsumsi ke tempat
pencontrengan, kasihan mereka haus dahaga untuk memenuhi undangan Pemilu.
Sebaliknya,
para caleg, jika mereka telah duduk di kursi dewan, setiap rapat mereka
disediakan konsumsi, uang rapat, gaji bulanan, berbagai fasilitas, tokh mereka tidak juga memenuhi undangan
rapat, hal ini terbukti dengan ruang rapat yang kebanyakan kursi kosong
melompong, padahal di tiap-tiap meja tersedia minuman segar lengkap dengan
katering.
Kertas surat suara yang tidak efisien
memberi efek psikologis yang kurang baik
Melihat
kertas suara yang harus diisi rakyat, formnya sangat menyulitkan. Kalangan
terdidik pun banyak yang menilai bahwa banyaknya partai ditambah dengan
nama-nama caleg sangat tidak efisien. Jika dibaca semua maka pemilih akan
stress. Hal itu diungkapkan oleh kalangan terdidik, lalu bagaimana jika dibaca
oleh masyarakat awam, baik di perkotaan apalagi di perkampungan. Yang patut disalahkan,
sebenarnya rakyat atau yang mengonsep (konseptor) surat suara? Adakah terpikir
oleh para steakholder untuk melakukan
efisiensi dan langkah-langkah memudahkan saat pencoblosan berlangsung. Terlepas
dari kepentingan individu yang ada dalam tubuh setiap partai, atau kepentingan
antara satu partai dengan partai lainnya, maka sangat dibutuhkan suatu misi
bersama untuk mempermudah rakyat di dalam pelaksanaan pemilu, sebab jika partai
dan para calegnya tidak mau tertib maka jangan disalahkan apabila masyarakat
pun berlaku tidak tertib.
Rakyat ingin nyaman saat memilih
Pemilu
seyogyanya menjadi hari yang menyenangkan bagi rakyat untuk memilih calon
pemimpin. Namun, banyak dari mereka yang saat datang tak bisa menyalurkan hak
pilihnya karena namanya tak tercantum dalam daftar pemilih. Para warga tersebut
akhirnya dimohon menunggu dari jam 08.00 sampai jam 12.00 guna menyampaikan hak
pilihnya.
Ada
di antara mereka yang menunggu, namun banyak pula yang memilih pulang untuk
melanjutkan aktifitas keseharian, ke pasar, ke kebun atau sawah ladang.
Ironis,
di satu sisi banyak nama pemilih yang tercantum namun tak menggunakan hak
pilihnya, dengan alasan sudah tidak berdomisili di tempat yang bersangkutan,
ada juga yang meninggal dunia namun namanya masih tetap tercantum di Daftar
Pemilih Tetap (DPT). Ibarat mobil bis, banyak tempat duduk yang kosong, saat
ada penumpang, tidak diperbolehkan masuk.
Jika
partai politik atau caleg khawatir dengan "rombongan pencoblos
bayaran," bukankah hal itu jarang terjadi, kalaupun antisipasi, maka KPPS
dapat mengidentifikasi sebab mereka bukan warganya.
Yang
banyak terjadi, namun yang hingga kini belum ada regulasi, adalah warga yang
tinggal di sana dan dikenal oleh masyarakat namun mereka tidak dapat memilih
dengan alasan tidak tercantum dalam DPT. Di sisi lain, KPPS tidak bisa
melakukan "ijtihad/korespondensi" sebab takut dituduh
menyalah-gunakan wewenang. Sebenarnya kasus "rombongan pemilih
bayaran" jauh lebih sedikit frekuensinya, ketimbang kasus warga yang tidak
memperoleh daftar pemilih.
Banyaknya
kasus warga yang tidak memperoleh undangan patut mendapat perhatian pada pemilu
mendatang.
Penyelenggara Pemilu yang Terlalu
Percaya Diri
Para
pembuat kebijakan lebih terpengaruh oleh opini partai atau caleg, daripada
opini masyarakat.
Opini
partai/caleg cenderung untuk mengawal kepentingan mereka. Rumitnya aturan
pemilu lebih disebabkan oleh paranoid
bahwa partainya akan dicurangi oleh partai lain sehingga dibuatlah
aturan-aturan "aneh," getahnya yang dirasakan masyarakat adalah bahwa
pemilu banyak aturan, rakyat bukannya difasilitasi atau dipermudah, melainkan
dipersulit dan diperumit. Kenapa hal ini terjadi? Sebab pemerintah
(penyelenggara pemilu) lebih mendengarkan suara caleg ketimbang suara rakyat,
akibatnya rakyat dihadapkan kepada berbagai kesulitan saat pencontrengan.
Parpol hanya berkegiatan di saat Pemilu
Melihat
cara kerja partai politik, mereka hanya bekerja saat menjelang pemilu (Prof.
Miriam Budiarjo, 2013:398). Setelah selesai pemilu, maka partai seolah
menghilang di masyarakat, kemudian muncul lagi saat akan ada pemilu. Politik
yang disosialisasikan kepada masyarakat sangat mudah menjemukan, sebab politik
selalu membahas kekuasaan dan perbincangan siapa yang akan duduk dan siapa yang
tersingkir. Tujuan parpol adalah kekuasaan. Siapa saja mereka yang masuk parpol
maka ia memiliki kans menjadi pejabat publik. Sebagaimana dikatakan Giovani
Sartori bahwa parpol mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan
publik
...and
is capable of placing through elections candidates for public office (G.
Sartori, 1976).
Sosialisasi
yang berlebihan kepada masyarakat tentang politik yang notabene bermuatan
ambisi kekuasaan maka akan cepat menimbulkan kejenuhan di kalangan masyarakat
(calon pemilih), sebab yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah implementasi.
Yang ingin mereka rasakan adalah kesejahteraan, terjaminnya perekonomian,
pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum, dan keamanan.
Rakyat bosan memilih: Bukan pesta
demokrasi tetapi beban demokrasi
Banyaknya
pemilu (nasional, provinsi, kabupaten, pilihan kepala desa, dan pilihan ketua
RW), dan bersebarannya spanduk/poster telah mengotori lingkungan. Secara fisik,
lingkungan kotor, dan secara mental ambisi kekuasaan telah mengotori ketulusan
dan keluguan masyarakat pedesaan. Sebab, poster-poster yang berfoto muka orang
sebenarnya merupakan hal tabu jika bercermin kepada budaya ketimuran, jika
menggunakan istilah anak sekolah, poster atau selebaran yang ada foto orang
atau nama biasanya disebut "lebay" atau "narsis."
Perkampungan
yang asri kini telah dikotori oleh poster dan foto, pohon-pohon rindang dipaku
sebagai tempat poster. Satu pohon bisa dipaku hingga 10 poster, mulai dari
poster calon Ketua RW, calon Kepala Desa, Calon Bupati, Calon Gubernur, Calon
Presiden dan puluhan poster calon legislatif.
Bersebarannya
poster merupakan pendidikan politik yang kurang baik, merusak keasrian,
ketulusan, merusak pemandangan alam dan pemandangan hati.
Gambar partai (Surat Suara) perlu lebih
disimpelkan
Berdasarkan
pengamatan di lapangan, banyak dari masyarakat yang berharap bahwa gambar
partai/jumlah partai disederhanakan saja agar tidak menyulitkan para pemilih.
Surat
suara yang tidak efisien dapat menganggu aspirasi calon pemilih. Warna gambar
yang hampir sama dapat mengelabui pemilih, serta banyak lagi efek yang kurang
bagus apabila surat suara tidak disederhanakan. Logikanya, jika hanya
mencontreng tiga kali, kenapa harus dihadapkan kepada 100 item yang rumit.
Letaknya yang belum diketahui membuat calon pemilih terpaksa harus mengerutkan
dahi berlama-lama untuk mengetahui partai yang hendak dipilih. Hal itu, belum
termasuk masyarakat yang buta hurup, lanjut usia, atau yang memiliki
keterbatasan penglihatan.
Setelah
berakhirnya Era Orde Baru, para politisi euporia
dengan kebebasan berpolitik. Warisan Orde Baru dipandang harus diganti
semuanya, diganti dengan ide yang baru. Perombakan total akhirnya berakibat
menyulitkan diri sendiri. Mereka yang merombak total akhirnya termenung
sendiri, dan semoga nanti mereka mengevaluasi bahwa tidak semua konsep orde
baru harus dihapuskan. Cukup banyak warisan pemimpin terdahulu yang perlu
dipertahankan. Meskipun sebagiannya ada yang harus dihilangkan atau diperbaiki.
Banyak caleg yang divonis hakim karena
politik uang
Di
akhir masa pilihan legislatif (pileg), banyak caleg yang divonis bersalah di
pengadilan. Hal itu berbuntut dengan didiskualifikasinya caleg untuk duduk di
kursi kekuasaan. Mereka mengatakannya "apes" sebab tidak mungkin
politik tanpa disertai dengan uang. Jika ditelusuri semua politisi yang berebut
suara maka semuanya akan terkena jeratan politik uang. Hal ini akan menambah
deretan panjang caleg stress sehingga semakin menurunkan pamor demokrasi itu
sendiri.
Seharusnya Caleg lebih tahu tentang
demokrasi daripada masyarakat, bukan sebaliknya.
Realitas
menunjukkan bahwa banyak caleg sekarang yang diusung parpol memiliki
pengetahuan politik yang sangat kurang.
Hal
ini akan menimbulkan disorientasi dari demokrasi menjadi kepentingan pribadi.
Keterbatasan pengetahuan tentang politik bagi caleg mengakibatkan mereka
menjelma menjadi orang-orang yang ambisius dengan kekuasaan. Di sisi lain, jika
tergelincir atau tidak lolos dari pileg maka mereka akan dijangkiti penyakit
musiman yaitu sakit jiwa (stress). Jika melihat sepak terjang Caleg maka kini rakyat
yang sebenarnya lebih tahu tentang carut marut demokrasi, mereka yang terjun di
dunia politik (caleg) hanya menjadi tumbal politik.
Sebagai
contoh: Ketika mereka (caleg) memberi sumbangan pengaspalan jalan kemudian ia
tidak terpilih, selanjutnya si caleg memerintahkan agar aspalnya diambil lagi
dan mengatakan bahwa masyarakat telah mengkhianati dirinya. Rakyat hanya bisa
tertawa dan mengatakan bahwa oknum caleg telah menjadi orang gila, apa bisa
aspal dicabut lagi dari jalan.
Ajang Demokrasi atau Ajang Audisi
Banyak
politisi senior mengeluh sebab suara untuk dirinya jeblok dikalahkan oleh pendatang baru yang jor-joran mengeluarkan dana kampanye.
Suksesi
sekarang tak ubahnya ajang audisi yang didukung oleh sms dari para pemirsa,
siapa calon yang kiriman smsnya lebih banyak maka dialah pemenangnya. Kiriman
sms atau perolehan suara tidak bisa dijadikan parameter kapasitas. Ada juga
rakyat menolong caleg sebab kasihan ia sudah kehabisan dana, jika tidak
dicontreng maka caleg itu akan stress setelah pileg.
Ada
juga anggapan, bahwa caleg harus orang kaya agar banyak cadangan harta untuk
membiayai dana kampanye. Apabila demikian maka politik dan kekuasaan hanya
berpihak kepada orang kaya. Orang kaya akan semakin korup dan kesenjangan
sosial akan semakin merusak.
Substansi
pemimpin bangsa sebenarnya bukan terletak kepada faktor kaya miskin. Seorang
pemimpin atau negarawan sejati adalah ia yang peduli dan bertanggung-jawab
terhadap nasib bangsanya, melakukan karyanya untuk bangsa, memiliki visi dan
misi yang revolusioner untuk memajukan bangsanya.
Jika
diibaratkan dengan sebuah keluarga. Jika negara lain sudah dapat berbuat
banyak, namun di suatu keluarga hanya berkutat kepada masalah internal yang
semakin carut marut. Melihat potensi yang ada di Indonesia, hanya sistem yang
perlu dibenahi, di samping pembenahan dalam bidang yang lainnya. Sumber daya
alam sudah cukup, yang belum adalah optimalisasi sumber daya manusia.
Sebenarnya
banyak ide brilian dari para cendikiawan, negarawan atau ilmuwan di negeri ini,
namun suara ambisi kekuasaan masih jauh lebih lantang sehingga suara kebenaran,
akal sehat dan inspirasi menjadi teredam dengan sendirinya.
Jargon "jangan salah-pilih"
yang tidak populer
Slogan
seperti itu sebenarnya kurang populer, sebab semua orang telah berasumsi bahwa
setiap kandidat, baik itu caleg maupun capres; mereka adalah orang-orang
terpilih. Logikanya, siapa pun yang terpilih maka hal itu adalah baik, sebab
diambil dari beberapa orang yang baik.
Jika
ada slogan "jangan salah pilih" maka slogan itu akhirnya bertentangan
dengan asumsi di atas. Pendapat yang muncul adalah ambisi pribadi yang
menganggap dirinya yang lebih pantas dan berharap dukungan dari rakyat untuk
menolong si calon duduk di kursi kekuasaan.
Jika
slogan "Jangan salah pilih" terbukti keberadaannya, maka berarti
seleksi individu melalui mekanisme partai politik adalah telah gagal sebab
parpol bukannya melahirkan pemimpin yang berkualitas melainkan hanya mampu
mengirimkan kucing-kucing dalam karung sebagai kandidat pemimpin bangsa.
Kapan Politik dan Suksesi Kepemimpinan
Dibutuhkan
Politik
hanya efektif jika dilakukan terhadap penguasa yang zalim namun politik
merupakan rencana jahat jika ditujukan kepada pemimpin yang baik.
Jika
politik dijadikan satu-satunya cara dalam suatu penyelenggaraan negara maka
selama itu pula negara akan labil, tidak akan pernah stabil. Sebab politik
awalnya diciptakan hanya untuk instabilitas.
Politik
tanpa dilembagakan juga akan tetap muncul jika yang berkuasa berlaku
sewenang-wenang, namun pendirian lembaga politik akan menjadi bumerang jika
ditujukan kepada kepemimpinan yang kharismatik, pro rakyat, dan stabilitas
dalam segala bidang. Jika demikian maka warga yang memberinya lowongan kerja.
Kita
tidak dapat melihat atau memojokkan masyarakat saja tentang fenomena rakyat
ingin diberi uang dari caleg. Kenapa paradigma itu terbentu? Apa dasar
pemikiran masyarakat melakukan hal demikian. Jika ditelusuri bahwa dari
sebagian pemilih memandang bahwa pencoblosan (pencontrengan) mereka adalah
untuk membantu caleg agar duduk di kursi kekuasaan, jika motivasinya menolong,
maka perlu ada timbal balik dari yang ditolong (caleg), inilah paradigma yang
berkembang. Fenomena tersebut merupakan penyelewengan dari tujuan demokrasi itu
sendiri.
Sejatinya
politik itu merupakan sikap yang idealis sebab ruang lingkupnya yang menyangkut
hajat hidup orang banyak yang menyebabkan politik harus idealis. Namun dalam
kenyataannya, politik banyak ditunggangi ditunggangi kepentingan pragmatis,
baik dari calon legislatif maupun dari calon pemilih.
Berbagai pengarahan tak ada gunanya
selama sistem masih bertolak-belakang dengan idealisme
Sejatinya,
politik itu mengajarkan konsep yang ideal: ilmiah dan alamiah. Ilmiah, bermakna bahwa suatu kebijakan
sepatutnya berdasarkan kepada aspek ilmu pengetahuan, mengingat bangsa dan
negara merupakan suatu lembaga besar yang membutuhkan kebijaksanaan dan
keadilan universal.
Alamiah
bermakna, bahwa lahirnya sosok/calon pemimpin merupakan produk dari
penggemblengan di masyarakat, lahir dari perjuangan, terobosan, inovasi yang
eksistensinya diakui oleh masyarakat luas. Lawan kata dari alamiah adalah instan, apabila paradigma instan dipakai
maka orang tiba-tiba bisa terkenal cukup dengan membuat 1.000 spanduk dan
intensitas iklan di media massa, maka dalam sekejap orang tersebut dapat
dikenal luas.
Kapasitas
individu hanya dapat diperoleh melalui proses yang alamiah, mustahil bisa
ditemukan dalam sistem yang instan. Sebenarnya tidak sulit untuk menelusuri
siapa saja yang memiliki kapasitas pemimpin di negeri besar seperti
Indonesia—tidak lebih sulit daripada quick
count yang berupaya memprediksi pemilu—Jika diumpamakan kolam, banyak
ikan-ikan besar yang layak mendapat perhatian dan kharismatik, namun karena air
kolam dibuat keruh oleh ambisi politisi, ikan besar tak terlihat, ikan teri
yang didapat.
Rabu, 28 Mei 2014
Negara dan Anggota Negara
NEGARA
DAN ANGGOTA
NEGARA
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah
Falsafah negara sebagai suatu keluarga
besar atau keluarga terbesar (the biggest family) merupakan konsep yang
patut kita pertimbangkan, atau setidaknya perlu memperoleh apresiasi. Sebab
darinya terdapat mainstrem agar kita
bahu membahu mengangkat harkat derajat negara sebagaimana kita mengangkat
harkat keluarga kita sendiri. Dalam sebuah keluarga kita bekerja sebagai suatu
organisme yang bergerak dan memberi nilai guna penuh harmoni, kebersamaan,
pengorbanan, totalitas, dan bahu membahu mengangkat keluarga. Demikian pula
dengan martabat suatu negara jika dianalogikan sebagai keluarga besar.
Idealnya
suatu negara menyimpan “ruh” yang merupakan akomodir dari sekian banyak
individu di suatu negeri. Ruh dapat berasal dari seluruh komponen rakyat untuk
mengabdi kepada negara, dapat juga berasal dari negara yang mampu memback-up
aspirasi seluruh anggota, meski tidak sesuai dengan kebutuhan paling tidak
mampu menyentuh kebersamaan atau terpenuhinya hajat secara merata.
Berbicara
satu negara sebenarnya tidak terlalu besar, sebab di bumi ini terdapat
sekurangnya 144 negara. Tidak juga dikatakan “remeh” sebab di dalam satu negara
saja yang semisal Indonesia, terdapat 200 juta lebih kumpulan manusia yang
berbeda motif ubun-ubunnya. Penekanan dalam catatan ini adalah, pentingnya
perbaikan paradigma seluruh komponen bangsa dalam memandang apa itu negara, apa
fungsi negara, bagaimana ruh bernegara, dan bagaimana seyogyanya orang
memandang dan memposisikan dirinya di depan negara? Hal ini perlu diperhatikan
sebab hampir semua anggota bangsa kini mulai kabur dan mengalami disorientasi
ketika memandang eksistensi sebuah negara; permasalahan inilah yang
sekarang mewabah pada semua komponen
bangsa.
Negara
hanya sebuah benda mati jika ia ditinggalkan warganya. Keramat tidaknya suatu
negara hanya berlaku disaat orang berbondong-bondong menjadi anggota negara.
Sebaliknya, negara menjadi rumah kosong atau tinggal puing jika orang-orang
meninggalkannya. Tidak akan ada yang bisa dibanggakan dari suatu negara bahkan
boleh jadi tiba-tiba menjelma menjadi parasit. Ada orang ditanya: “Anda dari
negeri mana” Ia menjawab bangga: “ Negara asal saya Inggris.” Tiba-tiba kawan
kita tertunduk malu saat berkata: “Saya orang Indonesia.”
Rasa
memiliki terhadap negeri teramat mahal untuk dimiliki oleh bangsa pada saat
ini. Betapa tidak, antar institusi saling cemburu, semua departemen berlomba
menuntut anggaran, para pegawai menuntut kenaikan gaji, para pengeluar pajak
mengelabui pendapatan, korupsi di sana-sini, politik tak stabil, kenaikan harga
terus-menerus, perusahaan banyak gulung tikar, PHK merajalela, utang negara
semakin menumpuk, kemiskinan terlihat dengan kasat mata, dan kejahatan telah
menjadi bagian endemik. Cepat atu lambat, penyakit-penyakit demikian menyeret
negara pada kehancuran. Socrates
(384-322 SM) mengatakan kemiskinan adalah
biangnya revolusi dan kejahatan.
Salah
satu gejala yang kurang baik ditunjukan dengan budaya banyak departemen yang
menuntut anggaran berlebih. Bahkan hampir semua departemen. Tidak jarang satu
departemen menunjuk sinis departemen lain. Para guru menuntut kenaikan gaji;
propesi pilot, minta dipenuhi kesejahteraan; dokter, tentara, polisi, hakim,
sampai kepada pejabat tinggi. Pertanyaan masyarakat awam adalah, sejauhmana
rasa memiliki terhadap negara? Mana rasa kebersamaan dengan semua profesi
termasuk profesi petani, nelayan, kuli, dsb). Padahal sudah terang benderang
bahwa negara—berdasarkan RAPBN 2008—hanya punya duit 700 trilyun, pengeluaran
800 trilyun, sehingga nombok 100 trilyun. Adapun hutang mencapai 600 trilyun!.
Terdapat
suatu anggapan yang perlu diluruskan, yaitu: Jika suatu departemen mendapat
sumbangan besar dari negara menunjukan departemen tersebut berprestasi; inilah
anggapan yang perlu dibenahi sebab jika demikian semua institusi akan berlomba
dan saling sikut untuk mendapat anggaran dari negara. Padahal mestinya bentuk
tanggung-jawab semua individu adalah menghemat keuangan negara. Munculnya
kesadaran menghemat keuangan negara adalah sama dengan menyumbang kepada
negara. Dengan demikian, sehat tidaknya suatu organ negara amat ditentukan oleh
seberapa efisienkah anggaran dana mengalir; bukan ditentukan oleh besarnya dana
negara yang mengalir kepada institusi tersebut.
Negara
merupakan sebuah institusi yang di dalamnya terdapat sisitem layaknya rumah
tangga. Maju tidaknya keluarga amat ditentukan oleh bapak, ibu, dan anak-anak.
Sebanyak apapun kekayaan pemimpin keluarga, jika anak-anaknya tidak pintar
mengelola maka keluarga itu diambang kehancuran; sebaliknya semiskin apapun
suatu keluarga apabila seluruh anggota bergerak secara dinamis maka
kesejahteraan keluarga telah menanti. Mungkin individu tidak merasa bahwa
akibat dari perbuatannya tidak memberi akses untuk negara, padahal akibat
tindakannya justru memberi akibat buruk bagi negara. Begitupun juga jika
individu melakukan upaya untuk negara, meski ia tidak merasakan untuk negara, namun
ia telah memberi sumbangan berharga untuk negara.
Mengamati
berbagai gejolak di negeri ini yang melibatkan hampir
seluruh warga dari semua kalangan, maka perlu penyadaran kolektif guna
menumbuhkan kembali “semangat mengabdi” untuk semua pekerja, baik mereka yang
berstatus pekerja institusional maupun pekerja sosial.
Demokrasi: Dipakai atau Ditinggalkan
DEMOKRASI
Dipakai
atau Ditinggalkan
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah
Bangsa
Indonesia kini sedang belajar tentang bagaimana memformulasikan suatu bentuk
negara ke arah yang lebih ideal. Pasca penjajahan kolonialisme yang berlangsung
sekitar 350 tahun, diteruskan dengan masa proklamasi dan awal republik
(Sukarno), sekitar 20 tahun, dilanjutkan dengan masa / rezim suharto (33 tahun)
dimana negara dikontrol secara otoriter. Hal ini berlangsung hingga tahun 1998.
Dalam
rentang 1998 sampai dengan sekarang (2014)—telah berlangsung 6 tahun—bangsa
Indonesia dilanda euforia demokrasi, slogannya: Rakyat punya suara, rakyat
memiliki kekuatan, rakyat bebas mengeluarkan pendapat dan sebagainya.
Presiden
dipilih oleh rakyat, gubernur pun dipilih langsung oleh rakyat, sampai pemilihan ketua RW. Spanduk bertebaran
menempel di pohon-pohon. Presiden dibatasi kewenangannya, DPR-RI menetapkan
ratusan undang-undang, komisi tumbuh menjamur bak cendawan dimusim hujan.
Urusan berkutat dalam diskusi, rapat, musyawarah, dan perdebatan yang tidak
berujung.
· Kita
dapat menyaksikan bahwa pada masa Soeharto banyak yang dapat dibangun, namun di
alam demokrasi seperti saat ini sangat sulit untuk membangun, berapa banyak
bangunan yang telah didirikan oleh pemimpin sebelumnya rontok tak ada yang
merawat.
· Di
era demokrasi, yang tumbuh subur bukan pertanian, kelautan atau perdagangan,
melainkan partai yang tumbuh subur. Bendera partai bertebaran di sana-sini,
sosialisasi pilkada, pencitraan dan keributan-keributan politik yang mewabah
dari daerah sampai pusat.
· Bangsa
Indonesia sekarang sedang belajar euforia demokrasi tentu ada akhirnya apabila
pemandangan yang disaksikan membuat rakyat jenuh dan di sisi lain kebutuhan
hidup semakin sulit.
· Undang-undang
digonta-ganti
Rakyat
tidak membutuhkan presiden, tidak ingin direpotkan oleh urusan politik. Yang
dibutuhkan adalah figur negarawan, melalaui dia negara akan diatur, ditata,
dperbaiki menuju ke arah yang lebih baik.
Adapun
tugas rakyat adalah bekerja keras, patuh, dan kreatif di dalam mengembangkan
dirinya, hal tersebut merupakan sumbangsih nyata bagi kejayaan bangsa.
· Beberapa
metode/cara sedang di uji coba di negara ini, mulai dari vase kolonialisme,
republik, demokrasi. Bangsa ini sedang mencoba, menyaksikan dan merasakan
bagaimana efek dari satu era dengan era yang lainnya. Tentu yang dicari adalah
sistem yang bagus, stabil, dan memberi lebih banyak manfaat ketimbang mudharat.
· Setiap
pergantian era, terjadi konsekuensi dimana negara berguncang dan korban
berjatuhan seringkali tak bisa dihindarkan.
· Di
negeri ini banyak para cndikiawan sehingga pada suatu saat nanti akan muncul
negarawan yang mampu mengelola negeri dengan bijak serta menjadi panutan bagi
seluruh rakyatnya.
· Sifat
manusia adalah tidak suka kepada yang tidak baik, suka kepada yang baik, dan
lebih suka kepada yang lebih baik. Mereka sekarang sedang mengenal demokrasi
dan mempraktikan demokrasi. Adapun apakah demokrasi nanti akan dipakai atau
tidak, maka tergantung kepada asas manfaat. Jika demokrasi memberi manfaat maka
akan dipakai dan dipertahankan; jika sebaliknya maka demokrasi akan
ditinggalkan.
Setelah
enam tahun melihat hasil kerja dari demokrasi, ada beberapa hal yang patut
diperhatikan :
1. Seseorang
yang akan menjadi pemimpin adalah ia yang memiliki harta yang banyak,
perusahaan-perusahaan membantu
finansial, atau ia yang memiliki media massa untuk pencitraan. Dana digunakan
untuk publikasi figur, sumbangan-sumbangan kepada calon pemilih dan sumbangan
wajib kepada partai yang mengorbitkannya.
2. Rakyat
dieksploitasi untuk memilih calon yang sudah disetting oleh pihak-pihak yang
ambisi kekuasaan. Tidak ada ruang bagi rakyat untuk memilih calon yang sesuai
dengan harapannya.
3. Iklim
demokrasi memunculkan lembaga-lembaga baru yang membebani keuangan negara, di
sisi lain menciptakan iklim jalan sendiri-sendiri, koordinasi tak berjalan,
masing-masing lembaga merasa memiliki kekuasaannya sendiri-sendiri. Jika
demikian, siapa yang bertanggung-jawab menjaga keuangan negara? Siapa penanggung-jawab
utama untuk mengelola negara menuju kemajuan? Untuk mewujudkan kerjasama tim
maka diperlukan satu koordinasi, sebuah yang anggotanya sedikit pun membutuhkan
satu koordinator, maka apatah lagi suatu negara yang berpenduduk 250 juta jiwa.
4. Di
alam demokrasi ini, muncul pendapat bahwa untuk menjadi pemimpin harus berasal
dari orang kaya. Benarkah demikian? Ada juga pendapat, orang miskin tidak boleh menjadi pejabat sebab setelahnya
mmenjabat maka ia akan menggunakan “aji mumpung” mengeruk uang negara. Benarkah
demikian? Banyak orang kaya namun setelah menjabat ia korupsi, banyak juga
orang miskin di saat ia menjabat “seperti kacang lupa kulitnya.” Kaya dan
miskin tidak menjadi syarat di dalam kepemimpinan. Syarat utama pemimpin adalah
amanah, cerdas dan memiliki kemampuan di dalam mengelola negerinya, baik
pengelolaan secara internal (stabilitas neggara) maupun secara eksternal
kreatif di dalam menjalin dan
menumbuhkan harmonisasi antar kepala negara/dunia internasional.
5. Manfaat
apa yang dirasakan di alam demokrasi? Yang paling banyak dirasakan bangsa
Indonesia saat ini adalah berseliwerannya spanduk partai, foto-foto caleg yang narsis, pilkada yang membosankan,
keributan antar pendukung calon, debat-debat politik yang hampa aksi. Alam
demokrasi tidak menciptakan kemajuan apapun melainkan hanya mengguritanya
parta-partai politik.
6. Demokrasi
sebagai produk impor. Sebagaimana lazimnya yang berlaku di negara kita yang
senantiasa memegang teguh adat istiadat bangsa. Indonesia terdiri dari berbagai
suku bangsa. Sejarah juga menunjukan bahwa nusantara pernah berjaya di lingkup
regional sejak jaman kerajaan-kerajaan. Kini, Indonesia telah bersatu,
menghimpun ribuan pulau (17.499), ratusan suku bangsa dan bahasa. Untuk
mewujudkan kebersatuan bangsa maka diperlukan sistem yang bagus. Mampukah
Indonesia menghasilkan suatu konsep hasil karya bangsa sendiri. Produk dari
luar (seperti demokrasi) perlu diseleksi, dipelajari, dan dikaji secara cermat.
Produk dari luar negeri ada kalanya baik dan banyak juga yang tak layak.
Apalagi jika dilihat produk asing (demokrasi) yang telah dipakai di beberapa
negara lebih sering menimbulkan konflik ketimbang perdamaian. Hanya Amerika
sebagai negara demokrasi yang mampu stabil, tetapi hal itu belum cukup, sebab
Amerika terlalu banyak menyimpan rahasia di balik layar yang jika dibongkar
akan lebih tragis melebihi laporannya Snowden.
Jakarta, Juli
2010
Langganan:
Postingan (Atom)