Rabu, 28 Mei 2014

Negara dan Anggota Negara


NEGARA
DAN ANGGOTA NEGARA

Chairil A Adjis  dan  Dudi Akasyah

Falsafah negara sebagai suatu keluarga besar atau keluarga terbesar (the biggest family) merupakan konsep yang patut kita pertimbangkan, atau setidaknya perlu memperoleh apresiasi. Sebab darinya terdapat mainstrem agar kita bahu membahu mengangkat harkat derajat negara sebagaimana kita mengangkat harkat keluarga kita sendiri. Dalam sebuah keluarga kita bekerja sebagai suatu organisme yang bergerak dan memberi nilai guna penuh harmoni, kebersamaan, pengorbanan, totalitas, dan bahu membahu mengangkat keluarga. Demikian pula dengan martabat suatu negara jika dianalogikan sebagai keluarga besar.
Idealnya suatu negara menyimpan “ruh” yang merupakan akomodir dari sekian banyak individu di suatu negeri. Ruh dapat berasal dari seluruh komponen rakyat untuk mengabdi kepada negara, dapat juga berasal dari negara yang mampu memback-up aspirasi seluruh anggota, meski tidak sesuai dengan kebutuhan paling tidak mampu menyentuh kebersamaan atau terpenuhinya hajat secara merata.
Berbicara satu negara sebenarnya tidak terlalu besar, sebab di bumi ini terdapat sekurangnya 144 negara. Tidak juga dikatakan “remeh” sebab di dalam satu negara saja yang semisal Indonesia, terdapat 200 juta lebih kumpulan manusia yang berbeda motif ubun-ubunnya. Penekanan dalam catatan ini adalah, pentingnya perbaikan paradigma seluruh komponen bangsa dalam memandang apa itu negara, apa fungsi negara, bagaimana ruh bernegara, dan bagaimana seyogyanya orang memandang dan memposisikan dirinya di depan negara? Hal ini perlu diperhatikan sebab hampir semua anggota bangsa kini mulai kabur dan mengalami disorientasi ketika memandang eksistensi sebuah negara; permasalahan inilah yang sekarang  mewabah pada semua komponen bangsa.
Negara hanya sebuah benda mati jika ia ditinggalkan warganya. Keramat tidaknya suatu negara hanya berlaku disaat orang berbondong-bondong menjadi anggota negara. Sebaliknya, negara menjadi rumah kosong atau tinggal puing jika orang-orang meninggalkannya. Tidak akan ada yang bisa dibanggakan dari suatu negara bahkan boleh jadi tiba-tiba menjelma menjadi parasit. Ada orang ditanya: “Anda dari negeri mana” Ia menjawab bangga: “ Negara asal saya Inggris.” Tiba-tiba kawan kita tertunduk malu saat berkata: “Saya orang Indonesia.”
Rasa memiliki terhadap negeri teramat mahal untuk dimiliki oleh bangsa pada saat ini. Betapa tidak, antar institusi saling cemburu, semua departemen berlomba menuntut anggaran, para pegawai menuntut kenaikan gaji, para pengeluar pajak mengelabui pendapatan, korupsi di sana-sini, politik tak stabil, kenaikan harga terus-menerus, perusahaan banyak gulung tikar, PHK merajalela, utang negara semakin menumpuk, kemiskinan terlihat dengan kasat mata, dan kejahatan telah menjadi bagian endemik. Cepat atu lambat, penyakit-penyakit demikian menyeret negara pada kehancuran. Socrates (384-322 SM) mengatakan kemiskinan adalah biangnya revolusi dan kejahatan.
Salah satu gejala yang kurang baik ditunjukan dengan budaya banyak departemen yang menuntut anggaran berlebih. Bahkan hampir semua departemen. Tidak jarang satu departemen menunjuk sinis departemen lain. Para guru menuntut kenaikan gaji; propesi pilot, minta dipenuhi kesejahteraan; dokter, tentara, polisi, hakim, sampai kepada pejabat tinggi. Pertanyaan masyarakat awam adalah, sejauhmana rasa memiliki terhadap negara? Mana rasa kebersamaan dengan semua profesi termasuk profesi petani, nelayan, kuli, dsb). Padahal sudah terang benderang bahwa negara—berdasarkan RAPBN 2008—hanya punya duit 700 trilyun, pengeluaran 800 trilyun, sehingga nombok 100 trilyun. Adapun hutang mencapai 600 trilyun!.
Terdapat suatu anggapan yang perlu diluruskan, yaitu: Jika suatu departemen mendapat sumbangan besar dari negara menunjukan departemen tersebut berprestasi; inilah anggapan yang perlu dibenahi sebab jika demikian semua institusi akan berlomba dan saling sikut untuk mendapat anggaran dari negara. Padahal mestinya bentuk tanggung-jawab semua individu adalah menghemat keuangan negara. Munculnya kesadaran menghemat keuangan negara adalah sama dengan menyumbang kepada negara. Dengan demikian, sehat tidaknya suatu organ negara amat ditentukan oleh seberapa efisienkah anggaran dana mengalir; bukan ditentukan oleh besarnya dana negara yang mengalir kepada institusi tersebut.
Negara merupakan sebuah institusi yang di dalamnya terdapat sisitem layaknya rumah tangga. Maju tidaknya keluarga amat ditentukan oleh bapak, ibu, dan anak-anak. Sebanyak apapun kekayaan pemimpin keluarga, jika anak-anaknya tidak pintar mengelola maka keluarga itu diambang kehancuran; sebaliknya semiskin apapun suatu keluarga apabila seluruh anggota bergerak secara dinamis maka kesejahteraan keluarga telah menanti. Mungkin individu tidak merasa bahwa akibat dari perbuatannya tidak memberi akses untuk negara, padahal akibat tindakannya justru memberi akibat buruk bagi negara. Begitupun juga jika individu melakukan upaya untuk negara, meski ia tidak merasakan untuk negara, namun ia telah memberi sumbangan berharga untuk negara.
Mengamati berbagai gejolak di negeri ini yang melibatkan hampir seluruh warga dari semua kalangan, maka perlu penyadaran kolektif guna menumbuhkan kembali “semangat mengabdi” untuk semua pekerja, baik mereka yang berstatus pekerja institusional maupun pekerja sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar