NEGARA
DAN ANGGOTA
NEGARA
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah
Falsafah negara sebagai suatu keluarga
besar atau keluarga terbesar (the biggest family) merupakan konsep yang
patut kita pertimbangkan, atau setidaknya perlu memperoleh apresiasi. Sebab
darinya terdapat mainstrem agar kita
bahu membahu mengangkat harkat derajat negara sebagaimana kita mengangkat
harkat keluarga kita sendiri. Dalam sebuah keluarga kita bekerja sebagai suatu
organisme yang bergerak dan memberi nilai guna penuh harmoni, kebersamaan,
pengorbanan, totalitas, dan bahu membahu mengangkat keluarga. Demikian pula
dengan martabat suatu negara jika dianalogikan sebagai keluarga besar.
Idealnya
suatu negara menyimpan “ruh” yang merupakan akomodir dari sekian banyak
individu di suatu negeri. Ruh dapat berasal dari seluruh komponen rakyat untuk
mengabdi kepada negara, dapat juga berasal dari negara yang mampu memback-up
aspirasi seluruh anggota, meski tidak sesuai dengan kebutuhan paling tidak
mampu menyentuh kebersamaan atau terpenuhinya hajat secara merata.
Berbicara
satu negara sebenarnya tidak terlalu besar, sebab di bumi ini terdapat
sekurangnya 144 negara. Tidak juga dikatakan “remeh” sebab di dalam satu negara
saja yang semisal Indonesia, terdapat 200 juta lebih kumpulan manusia yang
berbeda motif ubun-ubunnya. Penekanan dalam catatan ini adalah, pentingnya
perbaikan paradigma seluruh komponen bangsa dalam memandang apa itu negara, apa
fungsi negara, bagaimana ruh bernegara, dan bagaimana seyogyanya orang
memandang dan memposisikan dirinya di depan negara? Hal ini perlu diperhatikan
sebab hampir semua anggota bangsa kini mulai kabur dan mengalami disorientasi
ketika memandang eksistensi sebuah negara; permasalahan inilah yang
sekarang mewabah pada semua komponen
bangsa.
Negara
hanya sebuah benda mati jika ia ditinggalkan warganya. Keramat tidaknya suatu
negara hanya berlaku disaat orang berbondong-bondong menjadi anggota negara.
Sebaliknya, negara menjadi rumah kosong atau tinggal puing jika orang-orang
meninggalkannya. Tidak akan ada yang bisa dibanggakan dari suatu negara bahkan
boleh jadi tiba-tiba menjelma menjadi parasit. Ada orang ditanya: “Anda dari
negeri mana” Ia menjawab bangga: “ Negara asal saya Inggris.” Tiba-tiba kawan
kita tertunduk malu saat berkata: “Saya orang Indonesia.”
Rasa
memiliki terhadap negeri teramat mahal untuk dimiliki oleh bangsa pada saat
ini. Betapa tidak, antar institusi saling cemburu, semua departemen berlomba
menuntut anggaran, para pegawai menuntut kenaikan gaji, para pengeluar pajak
mengelabui pendapatan, korupsi di sana-sini, politik tak stabil, kenaikan harga
terus-menerus, perusahaan banyak gulung tikar, PHK merajalela, utang negara
semakin menumpuk, kemiskinan terlihat dengan kasat mata, dan kejahatan telah
menjadi bagian endemik. Cepat atu lambat, penyakit-penyakit demikian menyeret
negara pada kehancuran. Socrates
(384-322 SM) mengatakan kemiskinan adalah
biangnya revolusi dan kejahatan.
Salah
satu gejala yang kurang baik ditunjukan dengan budaya banyak departemen yang
menuntut anggaran berlebih. Bahkan hampir semua departemen. Tidak jarang satu
departemen menunjuk sinis departemen lain. Para guru menuntut kenaikan gaji;
propesi pilot, minta dipenuhi kesejahteraan; dokter, tentara, polisi, hakim,
sampai kepada pejabat tinggi. Pertanyaan masyarakat awam adalah, sejauhmana
rasa memiliki terhadap negara? Mana rasa kebersamaan dengan semua profesi
termasuk profesi petani, nelayan, kuli, dsb). Padahal sudah terang benderang
bahwa negara—berdasarkan RAPBN 2008—hanya punya duit 700 trilyun, pengeluaran
800 trilyun, sehingga nombok 100 trilyun. Adapun hutang mencapai 600 trilyun!.
Terdapat
suatu anggapan yang perlu diluruskan, yaitu: Jika suatu departemen mendapat
sumbangan besar dari negara menunjukan departemen tersebut berprestasi; inilah
anggapan yang perlu dibenahi sebab jika demikian semua institusi akan berlomba
dan saling sikut untuk mendapat anggaran dari negara. Padahal mestinya bentuk
tanggung-jawab semua individu adalah menghemat keuangan negara. Munculnya
kesadaran menghemat keuangan negara adalah sama dengan menyumbang kepada
negara. Dengan demikian, sehat tidaknya suatu organ negara amat ditentukan oleh
seberapa efisienkah anggaran dana mengalir; bukan ditentukan oleh besarnya dana
negara yang mengalir kepada institusi tersebut.
Negara
merupakan sebuah institusi yang di dalamnya terdapat sisitem layaknya rumah
tangga. Maju tidaknya keluarga amat ditentukan oleh bapak, ibu, dan anak-anak.
Sebanyak apapun kekayaan pemimpin keluarga, jika anak-anaknya tidak pintar
mengelola maka keluarga itu diambang kehancuran; sebaliknya semiskin apapun
suatu keluarga apabila seluruh anggota bergerak secara dinamis maka
kesejahteraan keluarga telah menanti. Mungkin individu tidak merasa bahwa
akibat dari perbuatannya tidak memberi akses untuk negara, padahal akibat
tindakannya justru memberi akibat buruk bagi negara. Begitupun juga jika
individu melakukan upaya untuk negara, meski ia tidak merasakan untuk negara, namun
ia telah memberi sumbangan berharga untuk negara.
Mengamati
berbagai gejolak di negeri ini yang melibatkan hampir
seluruh warga dari semua kalangan, maka perlu penyadaran kolektif guna
menumbuhkan kembali “semangat mengabdi” untuk semua pekerja, baik mereka yang
berstatus pekerja institusional maupun pekerja sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar