Rabu, 28 Mei 2014

Disorientasi Demokrasi Indonesia


DISORIENTASI DEMOKRASI INDONESIA
Realitas Rakyat Menolong Caleg

Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah

Pragmatisme yang Berantai
Realitas menunjukan bahwa masyarakat yang mencoblos caleg memiliki paradigma "menolong caleg" agar mendapat kursi DPR/DPRD. Di sisi lain, caleg pun tidak mendidik rakyat, mereka dengan naif meminta kepada masyarakat agar memilih dirinya, slogan caleg: "berilah saya kesempatan menjadi anggota dewan." Ada juga caleg yang mengaku bahwa "ia ingin menjadi anggota dewan adalah untuk meningkatkan taraf hidupnya, ingin memperbaiki nasib (mengadu nasib), atau ingin meningkatkan status sosialnya."
Dia mengaku bahwa perkataannya itu adalah kejujuran, namun apakah tipe seperti ini orangnya yang akan memajukan kepentingan orang banyak, padahal niat awalnya saja untuk kepentingan sendiri. Jika paradigmanya demikian maka wajar jika warga ingin dibayar untuk mencontrengnya.
Sebelum caleg menjabat maka ia sudah merencanakan hal-hal apa saja yang akan dilakukan untuk mendatangkan keuntungan finansial dirinya. Mustahil ia  mampu merencanakan atau mengkonsepsikan rencana kemaslahatan bangsa.
Kenapa Caleg yang Diusung Parpol Tidak memiliki Kapasitas
Kenapa caleg yang diusung parpol tidak memiliki kapasitas? Sebab partai yang merekrut bukan memandang kapasitas caleg melainkan kepentingan pragmatis, yaitu caleg yang populer, bukan caleg yang memiliki kapasitas. Caleg memiliki popularitas dapat berdasarkan kapasitas, sensasi, artis, dan politik uang. Yang menjamur subur pada pileg sekarang adalah partai memilih sosok populer dari artis dan kalangan berduit.
Jika demikian siapa yang bisa memberikan pendidikan politik? Partai politik, bertujuan pragmatis yakni dorongan mendulang suara dengan cara instan dengan cara merekrut caleg dari kalangan berduit dan artis. Caleg tak mampu menjabarkan konsep-konsep demokrasi kepada masyarakat. Dan masyarakat (calon pemilih) memandang caleg dan politik hanya terbatas kepada menolong caleg agar duduk di kursi empuk sehingga mereka pun lebih memandang siapa caleg yang memberinya bantuan instan sebagaimana layaknya bantuan sembako dan mie instan.
Kini tidak ada lagi pihak yang dapat mengajarkan tentang konsep ilmiah dari sistem demokrasi: kepentingan jangka pendek, jangkah menengah, dan jangka panjang untuk stabilitas bangsa dan negara; semua kalangan sudah terjebak dengan sisi buruk dari demokrasi yaitu ambisi kekuasaan dan kepentingan pragmatis. Tidaklah mengherankan jika output yang ditimbulkan adalah kerusuhan, demo, dan konflik yang tak berkesudahan, di sisi lain perekonomian negara makin terpuruk, ancaman disintegrasi, dekadensi moral, dan lunturnya semangat nasionalisme. Hal inilah sebenarnya ancaman terbesar bangsa.
Sebuah negara yang disibukkan dengan urusan konflik internal maka negara itu tak akan melangkah menuju negara yang lebih baik, bahkan sebaliknya jika dibiarkan maka bersiaplah menuju jurang keterpurukan nasional.
Antar caleg satu partai saja saling sikut memperebutkan suara
Berdasarkan kesaksikan salah-seorang Caleg bernama N, dari partai D, di Propinsi Bali. Ia telah mendapatkan 1.000 suara, dan teman satu partainya bernama I mendapat 14 suara. Namun, I mengkalim dia pemenangnya padahal yang dia peroleh hanya 14, formulir C1 hasil penghitungan KPU Kabupaten dipegang caleg I. Caleg N meminta agar Caleg I membuka formulir C1 agar bisa dilihat bersama-sama namun namun I tidak mau.
Caleg N mengetahui bahwa suaranya yang awalnya 1.000 menjadi menurun ke angka 200, yang berarti ia terancam gagal menduduki kursi DPRD Kabupaten. Kasus yang menimpa Caleg N ternyata banyak menimpa caleg yang lainnya.
Proses penghitungan dimulai dari TPS, KPU Kabupaten, dan seterusnya rentan dengan campur tangan Caleg yang sangat berambisi. Ternyata Caleg harus mempersiapkan uang banyak, tidak hanya saat hajatan pencoblosan melainkan setelah pemilu selesai, caleg juga harus "mengawal" surat suara agar tidak dicuri oleh caleg lain, pengawalan dimulai dari berbagai TPS, KPU Kabupaten, KPU Propinsi, sampai pusat. Tentunya, stok uang para caleg harus tetap tersedia, untuk membiayai agar suara yang telah diperoleh tidak hilang di tengah jalan, jangan sampai kasus yang menimpa beberapa caleg terpilih yang akhirnya "gigit jari" tak jadi melenggang ke kursi dewan yang terhormat.
Politik itu bagus jika digunakan untuk mengkritisi pemimpin yang tidak adil, namun politik dapat merusak jika dilakukan terhadap pemimpin yang adil. Sebab iklim politik selalu memunculkan intrik. Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang adil lebih banyak ketimbang pemimpin yang tidak adil, itulah kenapa jaman dulu peradaban lebih mudah terbentuk.
Pemilu ulang yang Merugikan
Terlepas dari kesalahan di KPU atau teknis di lapangan, bahwa pemilihan ulang telah merugikan aktifitas rakyat. Kebanyakan pemilihan ulang diakibatkan oleh kekecewaan caleg karena suaranya kalah. Kekecewaan seperti itu adalah subyektif, bukan kekecewaan orang banyak (masyarakat). Kekecewaan caleg yang merugikan rakyat
Kita lihat, ketika mereka hendak mencontreng, mereka naik ojek ke TPS, mereka mengeluarkan uang untuk sekedar mengganjal perut menunggu antrian pencontrengan, pekerjaan di sawah mereka tinggalkan, harusnya hari itu mereka memperoleh nafkah dari mata pencahariannya.
Kenapa faktor kepentingan rakyat tidak dipertimbangkan? Pencoblosan ulang itu menyita waktu rakyat yang ke sawah ladang. Jangan hanya lantaran kekecewaan atau perseteruan antar caleg maka rakyat yang dikorbankan. Kita lihat, hasilnya partisipasi masyarakat saat pencoblosan ulang sangat rendah, mereka lebih memilih bekerja untuk menafkahi keluarga, hal itu tentu lebih realistis jika kita juga diposisikan seperti mereka.
Sekarang sudah bukan saatnya lagi memperkenalkan pentingnya pemilu, sebab rakyat sudah memandang bahwa pemilu itu tak lebih dari sekedar memanggul caleg agar duduk di kekuasaan.
Kampanye yang disampaikan tentang wawasan kebangsaan dan nasionalisme tak akan berarti apa-apa, sebab "TST (tahu sama tahu) lebih bergema mengalahkan segalanya.
Misi dari pihak yang berkampanye adalah bagaimana supaya rakyat mencontreng saya, dan di sisi lain rakyat pun berpikir sumbangan materi apa yang akan Caleg berikan untuk saya. Caleg memberi “sesuatu” kepada rakyat maka rakyat pun akan memberi suara.
Warga yang mencontreng perlu diberi konsumsi?
Ada anekdot dari para warga yang hendak memilih, mereka mengatakan bahwa biasanya kalau menghadiri suatu undangan maka mereka selalu disediakan prasmanan/konsumsi. Namun jika memenuhi undangan pencontrengan tidak disediakan apa-apa. Padahal untuk menghadiri TPS mereka kadangkala datang dari kampung yang berbeda, membawa keluarga yang otomatis harus membawa uang untuk membeli jajanan. Di TPS mereka juga harus antri di tengah terik matahari, menahan haus dan lapar, apalagi di kanan kiri berjejer para pedagang.
Padahal warga sengaja datang meninggalkan pekerjaan. Pegawai negeri dan pegawai swasta memang diliburkan, tetapi mereka tetap memperoleh gaji. Kalau rakyat meninggalkan pekerjaan (berdagang/bertani/nelayan) jika meninggalkan pekerjaan maka dari mana mereka dapat makan.
Logikanya, apakah pemilih yang harus membawa bekal makanan atau konsumsi ke tempat pencontrengan, kasihan mereka haus dahaga untuk memenuhi undangan Pemilu.
Sebaliknya, para caleg, jika mereka telah duduk di kursi dewan, setiap rapat mereka disediakan konsumsi, uang rapat, gaji bulanan, berbagai fasilitas, tokh mereka tidak juga memenuhi undangan rapat, hal ini terbukti dengan ruang rapat yang kebanyakan kursi kosong melompong, padahal di tiap-tiap meja tersedia minuman segar lengkap dengan katering.
Kertas surat suara yang tidak efisien memberi efek psikologis yang kurang baik
Melihat kertas suara yang harus diisi rakyat, formnya sangat menyulitkan. Kalangan terdidik pun banyak yang menilai bahwa banyaknya partai ditambah dengan nama-nama caleg sangat tidak efisien. Jika dibaca semua maka pemilih akan stress. Hal itu diungkapkan oleh kalangan terdidik, lalu bagaimana jika dibaca oleh masyarakat awam, baik di perkotaan apalagi di perkampungan. Yang patut disalahkan, sebenarnya rakyat atau yang mengonsep (konseptor) surat suara? Adakah terpikir oleh para steakholder untuk melakukan efisiensi dan langkah-langkah memudahkan saat pencoblosan berlangsung. Terlepas dari kepentingan individu yang ada dalam tubuh setiap partai, atau kepentingan antara satu partai dengan partai lainnya, maka sangat dibutuhkan suatu misi bersama untuk mempermudah rakyat di dalam pelaksanaan pemilu, sebab jika partai dan para calegnya tidak mau tertib maka jangan disalahkan apabila masyarakat pun berlaku tidak tertib.

Rakyat ingin nyaman saat memilih
Pemilu seyogyanya menjadi hari yang menyenangkan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin. Namun, banyak dari mereka yang saat datang tak bisa menyalurkan hak pilihnya karena namanya tak tercantum dalam daftar pemilih. Para warga tersebut akhirnya dimohon menunggu dari jam 08.00 sampai jam 12.00 guna menyampaikan hak pilihnya.
Ada di antara mereka yang menunggu, namun banyak pula yang memilih pulang untuk melanjutkan aktifitas keseharian, ke pasar, ke kebun atau sawah ladang.
Ironis, di satu sisi banyak nama pemilih yang tercantum namun tak menggunakan hak pilihnya, dengan alasan sudah tidak berdomisili di tempat yang bersangkutan, ada juga yang meninggal dunia namun namanya masih tetap tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ibarat mobil bis, banyak tempat duduk yang kosong, saat ada penumpang, tidak diperbolehkan masuk.
Jika partai politik atau caleg khawatir dengan "rombongan pencoblos bayaran," bukankah hal itu jarang terjadi, kalaupun antisipasi, maka KPPS dapat mengidentifikasi sebab mereka bukan warganya.
Yang banyak terjadi, namun yang hingga kini belum ada regulasi, adalah warga yang tinggal di sana dan dikenal oleh masyarakat namun mereka tidak dapat memilih dengan alasan tidak tercantum dalam DPT. Di sisi lain, KPPS tidak bisa melakukan "ijtihad/korespondensi" sebab takut dituduh menyalah-gunakan wewenang. Sebenarnya kasus "rombongan pemilih bayaran" jauh lebih sedikit frekuensinya, ketimbang kasus warga yang tidak memperoleh daftar pemilih.
Banyaknya kasus warga yang tidak memperoleh undangan patut mendapat perhatian pada pemilu mendatang.
Penyelenggara Pemilu yang Terlalu Percaya Diri
Para pembuat kebijakan lebih terpengaruh oleh opini partai atau caleg, daripada opini masyarakat.
Opini partai/caleg cenderung untuk mengawal kepentingan mereka. Rumitnya aturan pemilu lebih disebabkan oleh paranoid bahwa partainya akan dicurangi oleh partai lain sehingga dibuatlah aturan-aturan "aneh," getahnya yang dirasakan masyarakat adalah bahwa pemilu banyak aturan, rakyat bukannya difasilitasi atau dipermudah, melainkan dipersulit dan diperumit. Kenapa hal ini terjadi? Sebab pemerintah (penyelenggara pemilu) lebih mendengarkan suara caleg ketimbang suara rakyat, akibatnya rakyat dihadapkan kepada berbagai kesulitan saat pencontrengan.
Parpol hanya berkegiatan di saat Pemilu
Melihat cara kerja partai politik, mereka hanya bekerja saat menjelang pemilu (Prof. Miriam Budiarjo, 2013:398). Setelah selesai pemilu, maka partai seolah menghilang di masyarakat, kemudian muncul lagi saat akan ada pemilu. Politik yang disosialisasikan kepada masyarakat sangat mudah menjemukan, sebab politik selalu membahas kekuasaan dan perbincangan siapa yang akan duduk dan siapa yang tersingkir. Tujuan parpol adalah kekuasaan. Siapa saja mereka yang masuk parpol maka ia memiliki kans menjadi pejabat publik. Sebagaimana dikatakan Giovani Sartori bahwa parpol mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan publik
 ...and is capable of placing through elections candidates for public office (G. Sartori, 1976).
Sosialisasi yang berlebihan kepada masyarakat tentang politik yang notabene bermuatan ambisi kekuasaan maka akan cepat menimbulkan kejenuhan di kalangan masyarakat (calon pemilih), sebab yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah implementasi. Yang ingin mereka rasakan adalah kesejahteraan, terjaminnya perekonomian, pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum, dan keamanan.
Rakyat bosan memilih: Bukan pesta demokrasi tetapi beban demokrasi
Banyaknya pemilu (nasional, provinsi, kabupaten, pilihan kepala desa, dan pilihan ketua RW), dan bersebarannya spanduk/poster telah mengotori lingkungan. Secara fisik, lingkungan kotor, dan secara mental ambisi kekuasaan telah mengotori ketulusan dan keluguan masyarakat pedesaan. Sebab, poster-poster yang berfoto muka orang sebenarnya merupakan hal tabu jika bercermin kepada budaya ketimuran, jika menggunakan istilah anak sekolah, poster atau selebaran yang ada foto orang atau nama biasanya disebut "lebay" atau "narsis."
Perkampungan yang asri kini telah dikotori oleh poster dan foto, pohon-pohon rindang dipaku sebagai tempat poster. Satu pohon bisa dipaku hingga 10 poster, mulai dari poster calon Ketua RW, calon Kepala Desa, Calon Bupati, Calon Gubernur, Calon Presiden dan puluhan poster calon legislatif.
Bersebarannya poster merupakan pendidikan politik yang kurang baik, merusak keasrian, ketulusan, merusak pemandangan alam dan pemandangan hati.
Gambar partai (Surat Suara) perlu lebih disimpelkan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, banyak dari masyarakat yang berharap bahwa gambar partai/jumlah partai disederhanakan saja agar tidak menyulitkan para pemilih.
Surat suara yang tidak efisien dapat menganggu aspirasi calon pemilih. Warna gambar yang hampir sama dapat mengelabui pemilih, serta banyak lagi efek yang kurang bagus apabila surat suara tidak disederhanakan. Logikanya, jika hanya mencontreng tiga kali, kenapa harus dihadapkan kepada 100 item yang rumit. Letaknya yang belum diketahui membuat calon pemilih terpaksa harus mengerutkan dahi berlama-lama untuk mengetahui partai yang hendak dipilih. Hal itu, belum termasuk masyarakat yang buta hurup, lanjut usia, atau yang memiliki keterbatasan penglihatan.
Setelah berakhirnya Era Orde Baru, para politisi euporia dengan kebebasan berpolitik. Warisan Orde Baru dipandang harus diganti semuanya, diganti dengan ide yang baru. Perombakan total akhirnya berakibat menyulitkan diri sendiri. Mereka yang merombak total akhirnya termenung sendiri, dan semoga nanti mereka mengevaluasi bahwa tidak semua konsep orde baru harus dihapuskan. Cukup banyak warisan pemimpin terdahulu yang perlu dipertahankan. Meskipun sebagiannya ada yang harus dihilangkan atau diperbaiki.

Banyak caleg yang divonis hakim karena politik uang
Di akhir masa pilihan legislatif (pileg), banyak caleg yang divonis bersalah di pengadilan. Hal itu berbuntut dengan didiskualifikasinya caleg untuk duduk di kursi kekuasaan. Mereka mengatakannya "apes" sebab tidak mungkin politik tanpa disertai dengan uang. Jika ditelusuri semua politisi yang berebut suara maka semuanya akan terkena jeratan politik uang. Hal ini akan menambah deretan panjang caleg stress sehingga semakin menurunkan pamor demokrasi itu sendiri.
Seharusnya Caleg lebih tahu tentang demokrasi daripada masyarakat, bukan sebaliknya.
Realitas menunjukkan bahwa banyak caleg sekarang yang diusung parpol memiliki pengetahuan politik yang sangat kurang.
Hal ini akan menimbulkan disorientasi dari demokrasi menjadi kepentingan pribadi. Keterbatasan pengetahuan tentang politik bagi caleg mengakibatkan mereka menjelma menjadi orang-orang yang ambisius dengan kekuasaan. Di sisi lain, jika tergelincir atau tidak lolos dari pileg maka mereka akan dijangkiti penyakit musiman yaitu sakit jiwa (stress). Jika melihat sepak terjang Caleg maka kini rakyat yang sebenarnya lebih tahu tentang carut marut demokrasi, mereka yang terjun di dunia politik (caleg) hanya menjadi tumbal politik.
Sebagai contoh: Ketika mereka (caleg) memberi sumbangan pengaspalan jalan kemudian ia tidak terpilih, selanjutnya si caleg memerintahkan agar aspalnya diambil lagi dan mengatakan bahwa masyarakat telah mengkhianati dirinya. Rakyat hanya bisa tertawa dan mengatakan bahwa oknum caleg telah menjadi orang gila, apa bisa aspal dicabut lagi dari jalan.
Ajang Demokrasi atau Ajang Audisi
Banyak politisi senior mengeluh sebab suara untuk dirinya jeblok dikalahkan oleh pendatang baru yang jor-joran mengeluarkan dana kampanye.
Suksesi sekarang tak ubahnya ajang audisi yang didukung oleh sms dari para pemirsa, siapa calon yang kiriman smsnya lebih banyak maka dialah pemenangnya. Kiriman sms atau perolehan suara tidak bisa dijadikan parameter kapasitas. Ada juga rakyat menolong caleg sebab kasihan ia sudah kehabisan dana, jika tidak dicontreng maka caleg itu akan stress setelah pileg.
Ada juga anggapan, bahwa caleg harus orang kaya agar banyak cadangan harta untuk membiayai dana kampanye. Apabila demikian maka politik dan kekuasaan hanya berpihak kepada orang kaya. Orang kaya akan semakin korup dan kesenjangan sosial akan semakin merusak.
Substansi pemimpin bangsa sebenarnya bukan terletak kepada faktor kaya miskin. Seorang pemimpin atau negarawan sejati adalah ia yang peduli dan bertanggung-jawab terhadap nasib bangsanya, melakukan karyanya untuk bangsa, memiliki visi dan misi yang revolusioner untuk memajukan bangsanya.
Jika diibaratkan dengan sebuah keluarga. Jika negara lain sudah dapat berbuat banyak, namun di suatu keluarga hanya berkutat kepada masalah internal yang semakin carut marut. Melihat potensi yang ada di Indonesia, hanya sistem yang perlu dibenahi, di samping pembenahan dalam bidang yang lainnya. Sumber daya alam sudah cukup, yang belum adalah optimalisasi sumber daya manusia.
Sebenarnya banyak ide brilian dari para cendikiawan, negarawan atau ilmuwan di negeri ini, namun suara ambisi kekuasaan masih jauh lebih lantang sehingga suara kebenaran, akal sehat dan inspirasi menjadi teredam dengan sendirinya.
Jargon "jangan salah-pilih" yang tidak populer
Slogan seperti itu sebenarnya kurang populer, sebab semua orang telah berasumsi bahwa setiap kandidat, baik itu caleg maupun capres; mereka adalah orang-orang terpilih. Logikanya, siapa pun yang terpilih maka hal itu adalah baik, sebab diambil dari beberapa orang yang baik.
Jika ada slogan "jangan salah pilih" maka slogan itu akhirnya bertentangan dengan asumsi di atas. Pendapat yang muncul adalah ambisi pribadi yang menganggap dirinya yang lebih pantas dan berharap dukungan dari rakyat untuk menolong si calon duduk di kursi kekuasaan.
Jika slogan "Jangan salah pilih" terbukti keberadaannya, maka berarti seleksi individu melalui mekanisme partai politik adalah telah gagal sebab parpol bukannya melahirkan pemimpin yang berkualitas melainkan hanya mampu mengirimkan kucing-kucing dalam karung sebagai kandidat pemimpin bangsa.
Kapan Politik dan Suksesi Kepemimpinan Dibutuhkan
Politik hanya efektif jika dilakukan terhadap penguasa yang zalim namun politik merupakan rencana jahat jika ditujukan kepada pemimpin yang baik.
Jika politik dijadikan satu-satunya cara dalam suatu penyelenggaraan negara maka selama itu pula negara akan labil, tidak akan pernah stabil. Sebab politik awalnya diciptakan hanya untuk instabilitas.
Politik tanpa dilembagakan juga akan tetap muncul jika yang berkuasa berlaku sewenang-wenang, namun pendirian lembaga politik akan menjadi bumerang jika ditujukan kepada kepemimpinan yang kharismatik, pro rakyat, dan stabilitas dalam segala bidang. Jika demikian maka warga yang memberinya lowongan kerja.
Kita tidak dapat melihat atau memojokkan masyarakat saja tentang fenomena rakyat ingin diberi uang dari caleg. Kenapa paradigma itu terbentu? Apa dasar pemikiran masyarakat melakukan hal demikian. Jika ditelusuri bahwa dari sebagian pemilih memandang bahwa pencoblosan (pencontrengan) mereka adalah untuk membantu caleg agar duduk di kursi kekuasaan, jika motivasinya menolong, maka perlu ada timbal balik dari yang ditolong (caleg), inilah paradigma yang berkembang. Fenomena tersebut merupakan penyelewengan dari tujuan demokrasi itu sendiri.
Sejatinya politik itu merupakan sikap yang idealis sebab ruang lingkupnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang menyebabkan politik harus idealis. Namun dalam kenyataannya, politik banyak ditunggangi ditunggangi kepentingan pragmatis, baik dari calon legislatif maupun dari calon pemilih.

Berbagai pengarahan tak ada gunanya selama sistem masih bertolak-belakang dengan idealisme
Sejatinya, politik itu mengajarkan konsep yang ideal: ilmiah dan alamiah. Ilmiah, bermakna bahwa suatu kebijakan sepatutnya berdasarkan kepada aspek ilmu pengetahuan, mengingat bangsa dan negara merupakan suatu lembaga besar yang membutuhkan kebijaksanaan dan keadilan universal.
Alamiah bermakna, bahwa lahirnya sosok/calon pemimpin merupakan produk dari penggemblengan di masyarakat, lahir dari perjuangan, terobosan, inovasi yang eksistensinya diakui oleh masyarakat luas. Lawan kata dari alamiah adalah instan, apabila paradigma instan dipakai maka orang tiba-tiba bisa terkenal cukup dengan membuat 1.000 spanduk dan intensitas iklan di media massa, maka dalam sekejap orang tersebut dapat dikenal luas.
Kapasitas individu hanya dapat diperoleh melalui proses yang alamiah, mustahil bisa ditemukan dalam sistem yang instan. Sebenarnya tidak sulit untuk menelusuri siapa saja yang memiliki kapasitas pemimpin di negeri besar seperti Indonesia—tidak lebih sulit daripada quick count yang berupaya memprediksi pemilu—Jika diumpamakan kolam, banyak ikan-ikan besar yang layak mendapat perhatian dan kharismatik, namun karena air kolam dibuat keruh oleh ambisi politisi, ikan besar tak terlihat, ikan teri yang didapat.

Jakarta,   Mei 2014



















Daftar Pustaka

G. Sartori, Parties and Party Sistems: A Framework for Analysis. Cambridge: Cambridge University Press, 1976. dikutip oleh Prof Miriam p 405.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar