Rabu, 28 Mei 2014

Calon Presiden, Popularitas atau Kapasitas?


CALON PRESIDEN
Popularitas atau Kapasitas
 
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah 

Kualitas Pemimpin : Periode Sekarang dan Sebelumnya
Menakar calon pemimpin negara yang akan menjabat di negeri ini tampaknya akan disematkan kepada pemimpin yang lebih memiliki popularitas belaka. Rakyat akan lebih memilih casing ketimbang kapasitas. Jika melihat kenyataan seperti itu maka secara kualitas, pemimpin sekarang mutunya akan di bawah pemimpin-pemimpin sebelumnya yang pernah menjabat di negeri ini, sebab era sebelumnya tak memandang popularitas melainkan kapasitas. Idealnya, terlepas dari kekurangan periode sebelumnya, maka periode kepemimpinan yang akan datang lebih baik lagi.
Politik jaman sekarang melihat figur bukan dari kapasitas melainkan dari popularitas. Apakah popularitas selaras dengan kapasitas? Tidak, sebab popularitas dapat diraih dengan berbagai cara, tanpa perlu memandang baik atau tidak, perlu ditiru atau tidak. Ada ulama mengatakan “Jika kamu ingin terkenal itu mudah, kencingi saja air zam-zam, maka kamu akan populer.” Sedangkan “kapasitas” merupakan proses alamiah dan ilmiah dimana seseorang telah memperoleh tempaan ujian alam pembentukan kepribadian, kecerdasan, wawasan, dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Sudah menjadi rahasia umum, jika untuk mendongkrak popularitas dapat ditempuh dengan berbagai cara, menghalalkan segala cara. Orang bisa populer dengan cara negatif, merekayasa, membodohi, anti-sosial, publikasi media, politik uang, dan banyak cara untuk mempopulerkan diri.
Tentunya, pemimpin yang memiliki konsep, wawasan yang lebih, keteladanan, dan potensi yang bersifat kepribadian sepatutnya menjadi perhatian, terlebih bagi seorang calon pemimpin negara.
Kepala negara dituntut memiliki ilmu adiluhung, sebab ia akan mengelola negara dengan populasi 250 juta jiwa, serta memiliki wawasan global dalam percaturan politik dan diplomasi internasional. Memang, tugas tersebut dapat ditangani para staf ahli, namun pimpinan negara harus memiliki konsep jelas untuk membawa negeri ini ke arah kemajuan. Jika tidak, maka kehadirannya tak ubahnya sebagai boneka, yang menjadi eksploitasi kelompok yang memiliki ambisi, demikian juga dalam percaturan global maka pemimpin seperti itu akan menjadi sapi perah dan menjadi ladang eksploitasi globalisasi.
Nasib bangsa sekarang seperti ajang mencari peruntungan, memilih kucing dalam karung, sebuah spekulasi yang sangat beresiko, mungkin pemimpin kelak memiliki konsep sebagaimana mestinya, atau kosong melompong tanpa tahu konsep apa yang perlu dilaksanakan dimana pada akhirnya para pembisik itulah yang menuntun menuju kehancuran bangsa.
Rakyat tidak sepenuhnya dapat disalahkan, sebab mereka hanya mengikuti sistem pemilu. Kembali kepada pembuat kebijakan sebelumnya yang telah membuka demokratisasi di luar ambang batas. Namun pembuat kebijakan pun tak dapat disalahkan secara sporadis sebab berkaca dari era sebelumnya yang menjebak rakyat dalan kungkungan rezim yang represif.
Jika sebelumnya, rakyat dipenjara dalam sebuah rezim orde baru, kini rakyat benar-benar bebas tanpa rambu-rambu. Kini, semua simbol negara dapat dilanggar, orang-orang bebas berbuat apapun.
Ada anekdot, mau pilih mana: rakyat terpenjara tapi ekonomi cukup, atau rakyat bebas berbuat apapun tanpa takut kepada rambu-rambu sehingga negara berantakan.
Kaum cerdik pandai, jangan bersedih apabila presiden yang terpilih sekarang hanya bermodalkan popularitas semata maka ibaratkan ia (presiden) sebagai simbol belaka. Biarkan bangsa ini belajar, mencoba, melihat, dan mengevaluasi. Nasib negara ini secara alamiah dan secara ilmiah, tetap terletak di kalangan cendikiawan. Kedepannya, perlu konsepsi-konsepsi dari para cerdik pandai atas berbagai masalah yang sedang mendera bangsa.
Syarat Mutlak Menjadi Pemimpin
Syarat mutlak menjadi pemimpin—apalagi kepala negara—adalah memiliki kepribadian dan ilmu pengetahuan. Dua syarat tersebut adalah syarat minimal. Idealnya, di samping ia memiliki kepribadian dan ilmu, maka calon pemimpin harus memiliki konsep unggulan. Ketika akan memimpin, dia sudah tahu apa yang akan dilakukan untuk memajukan bangsa dan negara.
Kepribadian, meliputi keteladanan, bijaksana, sederhana, dan memiliki integritas. Ilmu, meliputi pengetahuan, wawasan, cara pandang, dan pemahaman tentang berbagai kebijakan. Konsep kemajuan, meliputi: strategi dasar yang dia miliki guna mewujudkan kemajuan yang belum pernah atau belum mampu diwujudkan, serta menstabilisasi kemajuan pemerintahan sebelumnya.
Suksesi Pemimpin: Seremonial atau Implementasi
Suksesi kepemimpinan bukanlah seremonial belaka yang begitu gebyar bergema ke seluruh pelosok nusantara. Bukan upacara pelantikan dengan segala pernak-pernik yang mengiringinya, melainkan yang dibutuhkan adalah realisasi menuju negara yang lebih baik.
Kita semua mempunyai harapan sama, tentang suatu harapan bahwa pemimpin negara yang ideal akan segera berada di depan kita, dengan keluhungan pribadinya, ilmunya, dan konsep unggul yang dapat menuntun negeri berpenduduk 200 juta jiwa menjadi negara besar yang dapat menunjukan eksistensinya di mata dunia.
Selama ini, pengakuan keberhasilan negara hanya menjadi jargon penguasa dan kroninya, bukan pengakuan rakyat. Selama ini rakyat belum merasakan apa-apa dari pemerintah. Interaksi rakyat dengan negara hanya terjadi saat pengurusan KTP, setelah itu jalan sendiri-sendiri dan saling membohongi. Harga melambung tak ada yang peduli, kejahatan merajalela menjadi hal biasa, gelandangan, pengemis, dan anti-sosial yang mengganggu kenyamanan masyarakat bebas berkeliaran. Calon pemimpin harus memiliki konsep yang jelas untuk mereduksi kekurangan yang selama ini mencolok mata.
Kebijakan yang Cerdas
Rakyat tidak selamanya memandang masalah ekonomi sebagai satu-satunya faktor kenyamanan, melainkan kebijakan-kebijakan yang cerdas dari pemimpin negara akan jauh lebih diapresiasi dan lebih dikenang rakyat. Namun yang terjadi adalah ekonomi labil dan kebijakan pun tak ada yang efektif.
Membicarakan kebijakan tentu tak cukup hanya mengandalkan staf ahli atau menteri, namun kepala negara perlu memiliki konsep brilian yang dapat dilaksanakan oleh pembantunya dan efektif sampai ke akar rumput. Hal inilah yang menjadi substansi urgensi suksesi pemimpin negara. Jika kita menyelami hakikat dan fungsi kepala negara adalah naif jika mendudukan seseorang sebagai kepala negara dengan alasan popularitas semata. Sungguh tak seimbang dibandingkan dengan tanggung-jawab dan amanah yang bakal diemban.
Di satu sisi, paradigma masyarakat perlu diperbaiki, di sisi lain mekanisme demokratisasi perlu dikaji secara intensif agar pelaksanaan di lapangan benar-benar dapat menyeleksi calon kepala negara yang qualified serta calon legislatif yang berkompeten.
Peranan Media
Figur sekarang dapat dikatrol oleh media massa. Hal ini dapat menimbulkan disorientasi sasaran. Jika sebelumnya seorang figur muncul karena dikehendaki masyarakat, kini figur diorbitkan karena kehendak media.
Secara alamiah, jika individu sudah berkarya untuk bangsanya maka ia yang pantas sebagai kepala negara. Adapun media, terdapat tiga kemungkinan: Pertama memantapkan figur masyarakat itu sendiri. Kedua, sebagai industri bisnis maka akan mengakomodir pengorbitan figur berdasarkan pemasukan finansial. Ketiga, kebijakan perusahaan media untuk mempublikasikan individu atau tidak.
Libelarisme Demokrasi
Peluang terjadi liberalisasi di dalam merebaknya teknologi informasi menjadi terbuka lebar. Pragmatisme terselubung akan menggurita, dimana untuk menjadi pemimpin negara harus memiliki kemampuan finansial yang tinggi, dimana pada akhirnya semua yang berada di dalam sistem akan berkompetisi untuk memperkaya diri guna menunjukan eksistensi yang lebih tinggi. Hal itu akan menimbulkan bencana sebab menciptakan kesenjangan sosial yang dapat meruntuhkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Nasib tragis bahkan terjadi kepada para calon legislatif, inilah efek domino dimana satu kelompok tidak memperhatikan kapasitas maka secara beruntun mekanisme politik melahirkan deretan figur yang hampa konsep, semuanya pragmatis. Bagaimana tidak? Ambisi partai mendongkrak kursi merupakan pendekatan pragmatis sehingga cara yang ditempuh pun instan dengan merekrut caleg yang memiliki popularitas semata, maka tak heran praktik politik dewasa kini hanya melahirkan calon penyelenggara yang instan. Kita melihat puluhan trilyun bahkan ratusan trilyun hanya dihabiskan untuk suksesi secara seremonial belaka, setelah itu rakyat dilupakan, dan mempersiapkan seremonial berikatnya untuk lima tahun ke depan.
Memilih figur karena pengaruh media merupakan hal yang rawan. Semuanya mungkin, tergantung kompromi dengan media yang bersangkutan. Posisi tawar dengan media, hal ini yang sekarang banyak dilirik oleh figur yang ambisi kekuasaan. Jika dulu mengutamakan bergaining dengan rakyat, kini rakyat mulai ditinggalkan beralih kepada pencitraan media.
Menurunnya Kepercayaan Terhadap Partai Politik
Melihat cara kerjanya, masyarakat mulai skeptis dengan keberadaan partai politik, alih-alih menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah, hal-hal yang substansial ditinggalkan (kesejahteraan rakyat), hal yang tidak substantif (jumlah kursi dewan) dinomor-satukan. Banyaknya undang-undang yang digodok lebih banyak untuk kepentingannya yang pada akhirnya masalah semakin bertambah rumit, urusan kesejahteraan rakyat semakin jauh.
Kesenjangan sosial bukannya diredam, bahkan sebaliknya dibuat semakin meruncing. Ada jargon menyatakan bahwa menjadi pemimpin harus orang kaya, sehingga si miskin akan mencari berbagai cara agar ia masuk ke lingkaran politik, padahal di sisi lain pejabat kaya banyak melakukan korupsi.
Prof. Miriam Budiarjo (2013:413) menulis tentang partai politik dimana yang memerintah sebagai orang kaya dan yang diperintah orang miskin. Persaingan partai politik dapat menimbulkan atau memunculkan konflik, memperuncing, dan menimbulkan konflik-konflik baru. Keadaan semacam ini dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama mengentaskan kemiskinan dan masalah pembangunan lainnya yang menjadi essensi tugas negara (2013:413). Di beberapa negara, partai politik sering tidak mampu membina integrasi, tetapi malah menimbulkan pengotakkan dan pertentangan yang mengeras.
Axford et.al. dalam bukunya Politik: An Introduction, dikutip oleh Prof Miriam Budiarjo, menulis bahwa partai politik menurun pengaruhnya yang disebabkan oleh partai politik tidak mewakili kepentingan rakyat, sering korup, lebih mementingkan golongannya, dan mengejar kekuasaan. Di beberapa negara maju, dari waktu ke waktu partisipasi rakyat dalam pemilu menunjukkan penurunan, berdasarkan survey yang dilakukan Mair and Van Biezen (2001) yang dikutip oleh Prof. Miriam, dalam rentang tahun 1978-1999, Prancis mengalami penurunan tingkat partisipasi sebanyak -64.59 %, Italy (-51.54 %), USA (-50.39 %), Norwegia (-47.49 %), Belanda (-31.67 %), dan Swiss (-28.85 %). Reaksi atas ketidak-puasan dengan cara kerja partai politik kemudian muncul civil society dan NGO. Mereka memandang partai politik gagal, kemudian mereka mengembangkan sikap anti partai, anti politik, atau anti party-politics, melalui direct action dan wacana di forum-forum umum.
Budaya Instan
Kelemahan mekanisme suksesi dewasa kini, salah-satu penyebabnya adalah munculnya budaya instan. Seseorang ingin didaulat, menjadi pejabat, menjadi pemimpin melalui jalur pintas. Kini, hal-hal yang bersifat alamiah tak lagi menjadi fokus perhatian. Sejarah menunjukkan bahwa kepemimpinan ditentukan oleh pengorbanan kepada rakyat, konsep-konsep yang membumi, memiliki keistimewaan yang membuat individu layak disematkan kepadanya amanah yang lebih tinggi. Fakta menunjukan bahwa tampuk kepemimpinan yang dilalui melalui proses yang sewajarnya maka akan melahirkan bangsa yang berkarakter dan berbudaya, selaras dengan jiwa pemimpin bangsanya.
Indonesia merupakan negara besar jika dilihat dari populasi dan sumber daya alam, namun semua itu terletak di pundak kepala negara untuk memaksimalkan potensi yang ada. Apakah mampu mengimbangi
Potensi dan Konsepsi
Apakah mampu mengimbangi potensi yang ada dengan konsep yang sepadan? Bahkan, memaksimalkan potensi bangsa? Atau hanya untuk sekelompok kepentingan kemudian mengorbankan kepentingan rakyat?
Demokrasi: Proses kepemimpinan yang Instan
Banyak politisi mengeluh di Gedung Dewan bahwa mereka yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan bangsa di gedung dewan, akhirnya dikalahkan oleh caleg baru yang jor-joran di dalam menaburkan uang kepada rakyat. Siapa yang paling banyak memberi uang maka dialah pemenangnya, akhirnya para caleg incumbent yang telah memperjuangkan rakyat selama 5 tahun harus tereliminir dari kursi dewan. Di sisi lain, caleg yang jor-joran mengeluarkan dana dihadapkan pada dua kemungkinan buruk, pertama jika tidak berhasil maka ia akan stress, dan jika berhasil maka ia akan menuntut balas (mengkorup uang rakyat).
Era kebebasan, sebenarnya memerlukan rambu yang lebih tegas, sebab jika dibiarkan maka justru akan makin mendekatkan dengan jurang kehancuran.
Politik seperti demokrasi jaman kini mengajarkan ketidak-jujuran, di satu sisi calon-calon pejabat harus benar-benar bersih, di sisi lain sistem politik di negeri ini menuntut, mengharuskan dan menjebak orang yang terjun ke dunia politik untuk melakukan praktik korup. Hal ini dapat dilihat dari awal seseorang dicalonkan partai maka ia harus menyumbang ke partai, menyumbang ke rakyat, membeli spanduk, memasang iklan, dan gerakan-gerakan lainnya, bahkan sampai harus menyuap ke Mahkamah Konsitusi untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum. Seperti mencuci baju yang kotor dengan air got. Jika hal ini terus dibiarkan maka sistem politik tidak akan mampu mencetak pemimpin baru yang unggul, melainkan hanya melahirkan koruptor-koruptor baru.
Dalam kenyataan sekarang, berapa banyak bibit unggul yang dimakan oleh buruknya sistem. Apa produk dari politik yang selama ini digembar-gemborkan semua kalangan? Negarawankah? Cendikiawan? Atau sebaliknya.
Kebijakan negara yang visioner tentu lebih mementingkan negara ini stabil, sehat, dan nyaman di dalam berinovasi dan berkreatifitas untuk kemaslahatan bangsa. Sistem politik dewasa ini jika diibaratkan layaknya "akademi" bagi lahirnya pemimpin bangsa, penggemblengan, pengembangan wawasan dan kepribadian. Prestasi dari "akademi" selama 5 tahun, hasilnya sangat mengkhawatirkan. Tidak ada satu pun figur pimpinan yang muncul dari akademi tersebut, bahkan sebaliknya melahirkan koruptor-koruptor baru yang membuat keadaan bangsa kian terpuruk.
Menata Kebijakan Sistem Politik Negara
Ada pendapat bahwa realitas menyedihkan itu disebabkan oleh individu-individu, namun ada juga pendapat bahwa keterpurukan itu disebabkan oleh sistem sehingga sistemnya harus dibenahi. Politik menstimulus individu untuk menempuh jalan pintas menuju kekuasaan. Hal ini rentan memunculkan angan-angan, mimpi, dan abnormal. Jaman sekarang, yang bercita-cita menjadi pejabat tidak hanya dari kalangan ilmuwan, eksekutif dan pengusaha, melainkan tukang ojek juga diajak bermimpi dengan mendaftarkan diri menjadi caleg.
Kekuasaan harus dipegang oleh orang tepat sehingga ketika menjabat ia sudah mengetahui konsep apa yang akan diterapkan.
******
Sebagai penutup, penulis menyampaikan anekdot, jika orang Indonesia berkunjung ke Jepang maka orang Indonesia itu akan disiplin dan cinta kebersihan. Sebaliknya, jika ada orang Jepang berkunjung ke Indonesia maka ia akan tak disiplin dan akan membuang sampah sembarangan. Orang Indonesia jika ke Jepang maka ia akan bersih dari korupsi, orang Jepang yang ke Indonesia maka ia akan menjadi koruptor.
Penulis maksudkan adalah supaya bersama-sama melakukan kebaikan untuk bangsa. Sebab jika rakyat baik, namun jika tidak diimbangi dengan kebijakan negara yang cerdas maka hasilnya pun akan tidak baik.

April 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar