CALON PRESIDEN
Popularitas atau
Kapasitas
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah
Kualitas
Pemimpin : Periode Sekarang dan Sebelumnya
Menakar calon pemimpin negara yang akan
menjabat di negeri ini tampaknya akan disematkan kepada pemimpin yang lebih
memiliki popularitas belaka. Rakyat akan lebih memilih casing ketimbang kapasitas. Jika melihat kenyataan seperti itu maka
secara kualitas, pemimpin sekarang mutunya akan di bawah pemimpin-pemimpin
sebelumnya yang pernah menjabat di negeri ini, sebab era sebelumnya tak
memandang popularitas melainkan kapasitas. Idealnya, terlepas dari kekurangan
periode sebelumnya, maka periode kepemimpinan yang akan datang lebih baik lagi.
Politik jaman sekarang melihat figur
bukan dari kapasitas melainkan dari popularitas. Apakah popularitas selaras
dengan kapasitas? Tidak, sebab popularitas dapat diraih dengan berbagai cara,
tanpa perlu memandang baik atau tidak, perlu ditiru atau tidak. Ada ulama
mengatakan “Jika kamu ingin terkenal itu mudah, kencingi saja air zam-zam, maka
kamu akan populer.” Sedangkan “kapasitas” merupakan proses alamiah dan ilmiah
dimana seseorang telah memperoleh tempaan ujian alam pembentukan kepribadian,
kecerdasan, wawasan, dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Sudah menjadi rahasia umum, jika untuk
mendongkrak popularitas dapat ditempuh dengan berbagai cara, menghalalkan
segala cara. Orang bisa populer dengan cara negatif, merekayasa, membodohi,
anti-sosial, publikasi media, politik uang, dan banyak cara untuk mempopulerkan
diri.
Tentunya, pemimpin yang memiliki
konsep, wawasan yang lebih, keteladanan, dan potensi yang bersifat kepribadian
sepatutnya menjadi perhatian, terlebih bagi seorang calon pemimpin negara.
Kepala negara dituntut memiliki ilmu
adiluhung, sebab ia akan mengelola negara dengan populasi 250 juta jiwa, serta
memiliki wawasan global dalam percaturan politik dan diplomasi internasional.
Memang, tugas tersebut dapat ditangani para staf ahli, namun pimpinan negara
harus memiliki konsep jelas untuk membawa negeri ini ke arah kemajuan. Jika
tidak, maka kehadirannya tak ubahnya sebagai boneka, yang menjadi eksploitasi
kelompok yang memiliki ambisi, demikian juga dalam percaturan global maka
pemimpin seperti itu akan menjadi sapi perah dan menjadi ladang eksploitasi
globalisasi.
Nasib bangsa sekarang seperti ajang mencari
peruntungan, memilih kucing dalam karung, sebuah spekulasi yang sangat
beresiko, mungkin pemimpin kelak memiliki konsep sebagaimana mestinya, atau
kosong melompong tanpa tahu konsep apa yang perlu dilaksanakan dimana pada
akhirnya para pembisik itulah yang menuntun menuju kehancuran bangsa.
Rakyat tidak sepenuhnya dapat
disalahkan, sebab mereka hanya mengikuti sistem pemilu. Kembali kepada pembuat
kebijakan sebelumnya yang telah membuka demokratisasi di luar ambang batas.
Namun pembuat kebijakan pun tak dapat disalahkan secara sporadis sebab berkaca
dari era sebelumnya yang menjebak rakyat dalan kungkungan rezim yang represif.
Jika sebelumnya, rakyat dipenjara dalam
sebuah rezim orde baru, kini rakyat benar-benar bebas tanpa rambu-rambu. Kini,
semua simbol negara dapat dilanggar, orang-orang bebas berbuat apapun.
Ada anekdot, mau pilih mana: rakyat
terpenjara tapi ekonomi cukup, atau rakyat bebas berbuat apapun tanpa takut
kepada rambu-rambu sehingga negara berantakan.
Kaum cerdik pandai, jangan bersedih
apabila presiden yang terpilih sekarang hanya bermodalkan popularitas semata
maka ibaratkan ia (presiden) sebagai simbol belaka. Biarkan bangsa ini belajar,
mencoba, melihat, dan mengevaluasi. Nasib negara ini secara alamiah dan secara
ilmiah, tetap terletak di kalangan cendikiawan. Kedepannya, perlu
konsepsi-konsepsi dari para cerdik pandai atas berbagai masalah yang sedang
mendera bangsa.
Syarat Mutlak
Menjadi Pemimpin
Syarat mutlak menjadi pemimpin—apalagi
kepala negara—adalah memiliki kepribadian dan ilmu pengetahuan. Dua syarat
tersebut adalah syarat minimal. Idealnya, di samping ia memiliki kepribadian
dan ilmu, maka calon pemimpin harus memiliki konsep unggulan. Ketika akan
memimpin, dia sudah tahu apa yang akan dilakukan untuk memajukan bangsa dan
negara.
Kepribadian,
meliputi keteladanan, bijaksana, sederhana, dan memiliki integritas. Ilmu, meliputi pengetahuan, wawasan,
cara pandang, dan pemahaman tentang berbagai kebijakan. Konsep kemajuan, meliputi: strategi dasar yang dia miliki guna
mewujudkan kemajuan yang belum pernah atau belum mampu diwujudkan, serta
menstabilisasi kemajuan pemerintahan sebelumnya.
Suksesi
Pemimpin: Seremonial atau Implementasi
Suksesi kepemimpinan bukanlah
seremonial belaka yang begitu gebyar bergema ke seluruh pelosok nusantara.
Bukan upacara pelantikan dengan segala pernak-pernik yang mengiringinya, melainkan
yang dibutuhkan adalah realisasi menuju negara yang lebih baik.
Kita semua mempunyai harapan sama,
tentang suatu harapan bahwa pemimpin negara yang ideal akan segera berada di
depan kita, dengan keluhungan pribadinya, ilmunya, dan konsep unggul yang dapat
menuntun negeri berpenduduk 200 juta jiwa menjadi negara besar yang dapat
menunjukan eksistensinya di mata dunia.
Selama ini, pengakuan keberhasilan
negara hanya menjadi jargon penguasa dan kroninya, bukan pengakuan rakyat.
Selama ini rakyat belum merasakan apa-apa dari pemerintah. Interaksi rakyat
dengan negara hanya terjadi saat pengurusan KTP, setelah itu jalan
sendiri-sendiri dan saling membohongi. Harga melambung tak ada yang peduli,
kejahatan merajalela menjadi hal biasa, gelandangan, pengemis, dan anti-sosial
yang mengganggu kenyamanan masyarakat bebas berkeliaran. Calon pemimpin harus
memiliki konsep yang jelas untuk mereduksi kekurangan yang selama ini mencolok
mata.
Kebijakan yang
Cerdas
Rakyat tidak selamanya memandang
masalah ekonomi sebagai satu-satunya faktor kenyamanan, melainkan
kebijakan-kebijakan yang cerdas dari pemimpin negara akan jauh lebih
diapresiasi dan lebih dikenang rakyat. Namun yang terjadi adalah ekonomi labil
dan kebijakan pun tak ada yang efektif.
Membicarakan kebijakan tentu tak cukup
hanya mengandalkan staf ahli atau menteri, namun kepala negara perlu memiliki
konsep brilian yang dapat dilaksanakan oleh pembantunya dan efektif sampai ke
akar rumput. Hal inilah yang menjadi substansi urgensi suksesi pemimpin negara.
Jika kita menyelami hakikat dan fungsi kepala negara adalah naif jika
mendudukan seseorang sebagai kepala negara dengan alasan popularitas semata.
Sungguh tak seimbang dibandingkan dengan tanggung-jawab dan amanah yang bakal
diemban.
Di satu sisi, paradigma masyarakat
perlu diperbaiki, di sisi lain mekanisme demokratisasi perlu dikaji secara
intensif agar pelaksanaan di lapangan benar-benar dapat menyeleksi calon kepala
negara yang qualified serta calon
legislatif yang berkompeten.
Peranan Media
Figur sekarang dapat dikatrol oleh
media massa. Hal ini dapat menimbulkan disorientasi sasaran. Jika sebelumnya
seorang figur muncul karena dikehendaki masyarakat, kini figur diorbitkan
karena kehendak media.
Secara alamiah, jika individu sudah berkarya
untuk bangsanya maka ia yang pantas sebagai kepala negara. Adapun media,
terdapat tiga kemungkinan: Pertama memantapkan figur masyarakat itu sendiri.
Kedua, sebagai industri bisnis maka akan mengakomodir pengorbitan figur
berdasarkan pemasukan finansial. Ketiga, kebijakan perusahaan media untuk
mempublikasikan individu atau tidak.
Libelarisme
Demokrasi
Peluang terjadi liberalisasi di dalam
merebaknya teknologi informasi menjadi terbuka lebar. Pragmatisme terselubung
akan menggurita, dimana untuk menjadi pemimpin negara harus memiliki kemampuan
finansial yang tinggi, dimana pada akhirnya semua yang berada di dalam sistem
akan berkompetisi untuk memperkaya diri guna menunjukan eksistensi yang lebih
tinggi. Hal itu akan menimbulkan bencana sebab menciptakan kesenjangan sosial
yang dapat meruntuhkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Nasib tragis bahkan terjadi kepada para
calon legislatif, inilah efek domino dimana satu kelompok tidak memperhatikan
kapasitas maka secara beruntun mekanisme politik melahirkan deretan figur yang
hampa konsep, semuanya pragmatis. Bagaimana tidak? Ambisi partai mendongkrak
kursi merupakan pendekatan pragmatis sehingga cara yang ditempuh pun instan
dengan merekrut caleg yang memiliki popularitas semata, maka tak heran praktik
politik dewasa kini hanya melahirkan calon penyelenggara yang instan. Kita
melihat puluhan trilyun bahkan ratusan trilyun hanya dihabiskan untuk suksesi
secara seremonial belaka, setelah itu rakyat dilupakan, dan mempersiapkan
seremonial berikatnya untuk lima tahun ke depan.
Memilih figur karena pengaruh media
merupakan hal yang rawan. Semuanya mungkin, tergantung kompromi dengan media
yang bersangkutan. Posisi tawar dengan media, hal ini yang sekarang banyak
dilirik oleh figur yang ambisi kekuasaan. Jika dulu mengutamakan bergaining
dengan rakyat, kini rakyat mulai ditinggalkan beralih kepada pencitraan media.
Menurunnya
Kepercayaan Terhadap Partai Politik
Melihat cara kerjanya, masyarakat mulai
skeptis dengan keberadaan partai politik, alih-alih menyelesaikan masalah malah
menimbulkan masalah, hal-hal yang substansial ditinggalkan (kesejahteraan
rakyat), hal yang tidak substantif (jumlah kursi dewan) dinomor-satukan.
Banyaknya undang-undang yang digodok lebih banyak untuk kepentingannya yang
pada akhirnya masalah semakin bertambah rumit, urusan kesejahteraan rakyat
semakin jauh.
Kesenjangan sosial bukannya diredam,
bahkan sebaliknya dibuat semakin meruncing. Ada jargon menyatakan bahwa menjadi
pemimpin harus orang kaya, sehingga si miskin akan mencari berbagai cara agar
ia masuk ke lingkaran politik, padahal di sisi lain pejabat kaya banyak
melakukan korupsi.
Prof. Miriam Budiarjo (2013:413)
menulis tentang partai politik dimana yang memerintah sebagai orang kaya dan
yang diperintah orang miskin. Persaingan partai politik dapat menimbulkan atau
memunculkan konflik, memperuncing, dan menimbulkan konflik-konflik baru.
Keadaan semacam ini dapat mengalihkan perhatian dari tujuan utama mengentaskan
kemiskinan dan masalah pembangunan lainnya yang menjadi essensi tugas negara
(2013:413). Di beberapa negara, partai politik sering tidak mampu membina
integrasi, tetapi malah menimbulkan pengotakkan dan pertentangan yang mengeras.
Axford et.al. dalam bukunya Politik: An Introduction, dikutip oleh
Prof Miriam Budiarjo, menulis bahwa partai politik menurun pengaruhnya yang
disebabkan oleh partai politik tidak mewakili kepentingan rakyat, sering korup,
lebih mementingkan golongannya, dan mengejar kekuasaan. Di beberapa negara
maju, dari waktu ke waktu partisipasi rakyat dalam pemilu menunjukkan
penurunan, berdasarkan survey yang dilakukan Mair and Van Biezen (2001) yang dikutip oleh Prof. Miriam, dalam
rentang tahun 1978-1999, Prancis mengalami penurunan tingkat partisipasi
sebanyak -64.59 %, Italy (-51.54 %), USA (-50.39 %), Norwegia (-47.49 %),
Belanda (-31.67 %), dan Swiss (-28.85 %). Reaksi atas ketidak-puasan dengan
cara kerja partai politik kemudian muncul civil society dan NGO. Mereka
memandang partai politik gagal, kemudian mereka mengembangkan sikap anti partai,
anti politik, atau anti party-politics, melalui direct action dan wacana di
forum-forum umum.
Budaya Instan
Kelemahan mekanisme suksesi dewasa
kini, salah-satu penyebabnya adalah munculnya budaya instan. Seseorang ingin
didaulat, menjadi pejabat, menjadi pemimpin melalui jalur pintas. Kini, hal-hal
yang bersifat alamiah tak lagi menjadi fokus perhatian. Sejarah menunjukkan
bahwa kepemimpinan ditentukan oleh pengorbanan kepada rakyat, konsep-konsep
yang membumi, memiliki keistimewaan yang membuat individu layak disematkan
kepadanya amanah yang lebih tinggi. Fakta menunjukan bahwa tampuk kepemimpinan
yang dilalui melalui proses yang sewajarnya maka akan melahirkan bangsa yang
berkarakter dan berbudaya, selaras dengan jiwa pemimpin bangsanya.
Indonesia merupakan negara besar jika
dilihat dari populasi dan sumber daya alam, namun semua itu terletak di pundak
kepala negara untuk memaksimalkan potensi yang ada. Apakah mampu mengimbangi
Potensi dan
Konsepsi
Apakah mampu mengimbangi potensi yang
ada dengan konsep yang sepadan? Bahkan, memaksimalkan potensi bangsa? Atau
hanya untuk sekelompok kepentingan kemudian mengorbankan kepentingan rakyat?
Demokrasi:
Proses kepemimpinan yang Instan
Banyak politisi mengeluh di Gedung
Dewan bahwa mereka yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan bangsa di
gedung dewan, akhirnya dikalahkan oleh caleg baru yang jor-joran di dalam
menaburkan uang kepada rakyat. Siapa yang paling banyak memberi uang maka
dialah pemenangnya, akhirnya para caleg incumbent yang telah memperjuangkan
rakyat selama 5 tahun harus tereliminir dari kursi dewan. Di sisi lain, caleg
yang jor-joran mengeluarkan dana dihadapkan pada dua kemungkinan buruk, pertama
jika tidak berhasil maka ia akan stress, dan jika berhasil maka ia akan
menuntut balas (mengkorup uang rakyat).
Era kebebasan, sebenarnya memerlukan
rambu yang lebih tegas, sebab jika dibiarkan maka justru akan makin mendekatkan
dengan jurang kehancuran.
Politik seperti demokrasi jaman kini
mengajarkan ketidak-jujuran, di satu sisi calon-calon pejabat harus benar-benar
bersih, di sisi lain sistem politik di negeri ini menuntut, mengharuskan dan
menjebak orang yang terjun ke dunia politik untuk melakukan praktik korup. Hal
ini dapat dilihat dari awal seseorang dicalonkan partai maka ia harus menyumbang
ke partai, menyumbang ke rakyat, membeli spanduk, memasang iklan, dan
gerakan-gerakan lainnya, bahkan sampai harus menyuap ke Mahkamah Konsitusi
untuk mempengaruhi jalannya pemilihan umum. Seperti mencuci baju yang kotor
dengan air got. Jika hal ini terus dibiarkan maka sistem politik tidak akan
mampu mencetak pemimpin baru yang unggul, melainkan hanya melahirkan
koruptor-koruptor baru.
Dalam kenyataan sekarang, berapa banyak
bibit unggul yang dimakan oleh buruknya sistem. Apa produk dari politik yang
selama ini digembar-gemborkan semua kalangan? Negarawankah? Cendikiawan? Atau
sebaliknya.
Kebijakan negara yang visioner tentu
lebih mementingkan negara ini stabil, sehat, dan nyaman di dalam berinovasi dan
berkreatifitas untuk kemaslahatan bangsa. Sistem politik dewasa ini jika
diibaratkan layaknya "akademi" bagi lahirnya pemimpin bangsa,
penggemblengan, pengembangan wawasan dan kepribadian. Prestasi dari
"akademi" selama 5 tahun, hasilnya sangat mengkhawatirkan. Tidak ada
satu pun figur pimpinan yang muncul dari akademi tersebut, bahkan sebaliknya
melahirkan koruptor-koruptor baru yang membuat keadaan bangsa kian terpuruk.
Menata Kebijakan
Sistem Politik Negara
Ada pendapat bahwa realitas menyedihkan
itu disebabkan oleh individu-individu, namun ada juga pendapat bahwa
keterpurukan itu disebabkan oleh sistem sehingga sistemnya harus dibenahi. Politik
menstimulus individu untuk menempuh jalan pintas menuju kekuasaan. Hal ini
rentan memunculkan angan-angan, mimpi, dan abnormal. Jaman sekarang, yang
bercita-cita menjadi pejabat tidak hanya dari kalangan ilmuwan, eksekutif dan
pengusaha, melainkan tukang ojek juga diajak bermimpi dengan mendaftarkan diri
menjadi caleg.
Kekuasaan harus dipegang oleh orang
tepat sehingga ketika menjabat ia sudah mengetahui konsep apa yang akan
diterapkan.
******
Sebagai penutup, penulis menyampaikan anekdot,
jika orang Indonesia berkunjung ke Jepang maka orang Indonesia itu akan
disiplin dan cinta kebersihan. Sebaliknya, jika ada orang Jepang berkunjung ke
Indonesia maka ia akan tak disiplin dan akan membuang sampah sembarangan. Orang
Indonesia jika ke Jepang maka ia akan bersih dari korupsi, orang Jepang yang ke
Indonesia maka ia akan menjadi koruptor.
Penulis maksudkan adalah supaya
bersama-sama melakukan kebaikan untuk bangsa. Sebab jika rakyat baik, namun
jika tidak diimbangi dengan kebijakan negara yang cerdas maka hasilnya pun akan
tidak baik.
April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar