Sabtu, 26 April 2014

Hukum Kompensasi: Telaah Pasal 95 KUHAP


TELA’AH PASAL 95 KUHAP
Kaitannya dengan Hukum Kompensasi

Chairil A. Adjis, SH, MSi. dan Dudi Akasyah, SAg, MSi.
A.    Pengertian
Dalam perspektif kriminologi, khususnya viktimologi, kompensasi memiliki arti sebagai “pemberian ganti rugi yang diatur negara terhadap korban kejahatan[1]”. Soekanto menyatakan bahwa kompensasi merupakan “ganti rugi yang harus diberikan oleh pelaku kejahatan terhadap korban kejahatan[2]”. Mengenai siapa yang memberi kompensasi pada korban, Lindquist dalam bukunya berjudul Misdemeanor Crime, Trivial Criminal Persuit yang terbit di California tahun 1988 secara rinci mengatakan:
The Compensation laws of the states vary considerably. All of them, however, establish a comission or board to hear compensation claims and to make awards. Compensation is founded in varyng ways. Some states found it entirely from general funds, other suplement this by assesing a fixed fine for all convicted offenders. Other state collect from the criminals, the criminals is debited for any compensation paid and repayment of this debt may become a part of the conditions established for a prisoner’s parole or probation[3]Terjemah bebasnya: Hukum kompensasi di setiap negara bagian bervariasi. Namun kesemuanya membentuk komisi atau badan untuk mendengar klaim kompensasi dan memberikan santunan. Kompensasi didanai dari bermacam cara. Beberapa negara memperoleh dana dari dana umum. negara lain ada yang mengumpulkan dana dari para pelaku. Negara lainnya mengumpulkan dana dari para penjahat, mereka didebit untuk setiap kompensasi dan pembayaran ini bagian dari proses pembebasan tahanan.
Dalam KUHAP, pasal yang membahas mengenai kompensasi secara lengkap terletak pada pasal 95 ayat satu sampai ayat lima. Pasal ini mengatur tentang pemberian ganti rugi yang dilakukan tersangka, terdakwa, atau terpidana. Menurut pasal 95 ini; tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti rugi pada pengadilan, ketika ia diadili tanpa ada alasan jelas.
B.     Jenis Kompensasi
Secara sepintas, ada kesamaan jenis kompensasi menurut kriminologi (viktimologi) dengan jenis kompensasi versi KUHAP (ayat 95). Kesamaannya adalah, kedua literatur ini menegaskan bahwa kompensasi merupakan pemberian ganti rugi bagi orang yang terlibat dalam peradilan. Namun secara substansial, kedua literatur ini (kriminologi dan KUHAP) memiliki perbedaan sangat mencolok berkaitan dengan objek yang menerima kompensasi. Menurut Kriminologi, orang yang berhak untuk menerima kompensasi adalah korban kejahatan, sedangkan versi KUHAP, orang yang menerima kompensasi adalah pelaku kejahatan.
Dengan demikian, jenis kompensasi antara kedua literatur ini memiliki tujuan yang berbeda. Jenis kompensasi menurut viktimologi adalah jenis kompensasi yang bertujuan untuk membantu meringankan beban korban kejahatan. Sedangkan jenis kompensasi menurut KUHAP adalah untuk membela pelaku kejahatan.
C.    Telaah Isi
Agar mendapat gambaran lebih lengkap mengenai kompensasi dalam KUHAP dapat dilihat uraian pasal 95 yang diambil dari bukunya Andi Hamzah berjudul KUHP dan KUHAP, yang terbit tahun 1988 berikut ini:
Pasal 95
(1)   Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2)   Tuntutan ganti rugi oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan, diputus di sidang pra-peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (77).
(3)   Tuntutan ganti kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.
(4)    Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan danti kerugian pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara yang bersangkutan.
Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan[4].
D.    Substansi Kompensasi
Kompensasi bagi Terhukum
Dalam KUHAP, kompensasi menjadi hak terhukum. Terhukum berhak menuntut pengadilan ketika dia diperiksa tanpa alasan yang jelas. Versi KUHAP memberikan kesan pada kita bahwa sistem peradilan sekarang masih memberikan perhatian yang begitu besar pada terhukum. Terhukum diberikan banyak fasilitas yang dapat membantu terhukum bisa meringankan dari proses peradilan. Secara berturut-turut dari mulai ayat satu sampai ayat lima dalam Pasal 95 KUHAP, menerangkan bagaimana terhukum berhak untuk memperoleh kompensasi:
(1)    Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian….
(2)    Tuntutan ganti rugi oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan…
(3)    Tuntutan ganti kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa
(4)     Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan danti kerugian pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara yang bersangkutan.
(5)    Pemeriksaan terhadap ganti kerugian (terdakwa) … 
Ayat-ayat KUHAP di atas menjadi bukti bahwa kompensasi hanya berlaku untuk terdakwa. Terdakwa mendapat perhatian serius dalam proses peradilan pidana. Mereka menjamin hukum serta bantuan profesional hukum. Mereka juga mendapat pembelaan dari para pengacara. Saat vonis turun, hakim memberi hukuman minim dengan berbagai pertimbangan yang meringankan terdakwa. Hingga narapidana masuk penjara, mereka mendapat perhatian, pembinaan, keterampilan, hingga pemotongan masa penjara.
Sebegitu besarnya perhatian hukum pada narapidana, baik yang dilakukan akademisi maupun praktisi, membuat peradilan kriminal melupakan sebuah komponen penting yang sering dilupakan, ia adalah korban kejahatan. Tidakalh heran jika Lindquist menyebutnya sebagai pemain lama dalam sistem yang sering terlupakan:
Elaborate and costly physical structures have been built to house criminals and promote their behavioral improvement…Million of dollars of research have been devoted to determining what happens when the criminal justice sistem, touches the lives of individuals who become defendants. In comparison, virtually nothing has been done on what happens to the other groups of citizens touched bay criminal justice system, namely, the victim[5] (yakni, struktur yang berbiaya tinggi telah dibangun untuk menempatkan penjahat dan membuat mereka berperilaku lebih baik…Penelitian berbiaya jutaan dolar telah dilakukan untuk melihat apakah yang terjadi ketika sistem peradilan menyentuh kehidupan individu yang menjadi penjahat. Sebaliknya, belum ada hal yang dapat dilakukan untuk melihat apakah yang terjadi pada kelompok masyarakat lainnya yang juga tersentuh oleh sistem peradilan kriminal, dialah, korban kejahatan).
Korban merupakan pihak yang paling jelas dirugikan dalam aktivitas kejahatan. Sehingga ironis jika, komponen yang satu ini dilalaikan begitu saja. Di mata pelaku, korban acapkali dipandang sebagai pihak yang tepat, orang yang rendah, bodoh, dan lemah terhadap tindak kejahatan dibandingkan diri penjahat. Oleh masyarakat pun, korban dianggap sebagai pecundang, orang gagal dan sebagai orang yang dianggap kalah dalam suatu tindak kejahatan[6].
Berbicara terdakwa, ia pernah menjadi manusia super ketika melakukan tindakan kejahatan terhadap korban. Namun, korban terus menerus diposisikan sebagai korban. Semua ahli sepertinya memberikan perhatian sangat positif dan serius terhadap terhukum. Alangkah baiknya jika perhatian seimbang pun diberikan pada korban, sebab semua orang tahu, bahwa suatu insiden kejahatan tidak terlepas dari adanya pihak yang menjadi objek penderita, yaitu korban.
Reif mengatakan bahwa korban akan mengalami kerugian tidak hanya saat kejahatan terjadi, namun juga terjadi saat kejahatan telah berlalu. Korban akan merasa trauma. Kerugian tambahan lainnya meliputi: tak adanya perhatian dari sistem peradilan dan tak adanya penjamin ketenangan dan kesejahteraan[7].  Korban mengalami dua kali pernderitaan. Pertama, penderitaan yang diakibatkan oleh penjahat itu sendiri. Kedua, penderitaan sebagai akibat sistem peradilan kriminal. Misalnya, penderitaan yang dialami korban saat berhadapan dengan polisi adalah [1] respon polisi yang lambat [2] kegagalan menangkap penjahat [3] tidak kembalinya barang-barang yang dicuri [4] polisi enggan menahan penjahat [5] perlakuan negatif polisi terhadap korban[8].
Kompensasi
Dalam kriminologi, kompensasi menjadi hak korban kejahatan. Konsep kompensasi ini telah diberlakukan di 33 negara bagian Amerika. Konsep kompensasi pertama kali dilakukan di negara bagian California tahun 1965. Konsep kompensasi diperuntukan bagi mereka yang merasa dirugikan baik secara materiil mauoun non materiil. Bagi yang menderita kerugian materill, akan diganti dengan harga kerugian yang bersangkutan.
Bagi korban yang mengalami kerugian non materiil seperti orang yang terluka, mereka masih memiliki cara untuk mengembalikan kerugiannya, seperti [1] korban berhak menggugat [2] meminta pada pihak ketiga yang mengakibatkan dirinya terluka [3] mengajukan tuntutan pada asuransi [4] meminta bantuan pada swadaya masyarakat seperti badan keamanan sosial, bantuan medis, atau program kesejahteraan. Untuk menangani masalah ini, negara membentuk komisi atau badan yang khusus menangani kompensasi. Sumber dana kompensasi berasa dari dana umum atau dana dari penjahat. Para penjahat didebit untuk setiap kompensasi dan pembayaran ini menjadi bagian dari proses pembebasan terpidana[9]. Informasi serupa terjadi dalam Simposium Internasional Viktimologi di Jepang tanggal 29 Agustus sampai 4 September 1982, yang menyatakan bahwa di luar negeri, bantuan terhadap korban dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta. Pelayanan terhadap korban kejahatan dilakukan di antaranya oleh negara-negara: India, Thailand, Australia, Selandia Baru, Jepang, Amerika Serikat, Irlandia, Inggris, Kanada, Nederland dan Prancis[10].
Hukum ini, di samping dimaksudkan untuk memberi kompensasi korban untuk biaya rumah sakit, juga membayar korban karena kehilangan pendapatan, rehabilitasi, biaya pengacara, dan lain-lain. Selain memberi keuntungan bagi korban, hukum kompensasi memiliki beberapa keuntungan, yakni: [1] menunjukan pada masyarakat bahwa pemerintah memperhatikan korban kejahatan [2] meningkatkan laporan tentang kejahatan [3] meningkatkan kerjasama dengan korban [4] meningkatkan efektivitas bantuan yang diberikan pada korban [5] meningkatkan pelayanan pada korban melalui negara[11].
Di Amerika, korban dapat mengajukan kompensasi jika jumlah kerugian mencapai 100 dolar, atau lebih. Adapun korban kejahatan ringan, serangan ringan atau mereka yang kehilangan tas dengan jumlah uang di bawah nominal 100 dolar, hukum kompensasi tidak berlaku, alasannya biaya operasional untuk mengurus kompensasi cukup mahal. Negara bagian di Amerika memberlakukan “standar minimum kehilangan” di mana korban tidak akan memperoleh kompensasi. Bahkan, di negara bagian Oregon, standar minimumnya adalah 250 dolar. Di samping itu, negara-negara bagian memutuskan bahwa mereka tidak akan memberi santunan bagi korban yang ternyata kenal dengan penjahatnya[12].
Di Indonesia, hukum kompensasi bagi korban belum ada. Dengan menyaksikan uraian di atas, nyatalah bahwa keberadaan korban dalam sistem peradilan di negara kita belum mendapat perhatian simpatik dari sistem peradilan pidana khususnya, dan pemerintah pada umumnya. Hal ini terbukti dengan KUHAP yang masih memberlakukan kompensasi (ganti rugi) hanya untuk terdakwa bukan untuk korban. Sekarang, pemerintah sudah saatnya untuk membuat kompensasi demi kepentingan korban. Atau paling tidak pemerintah memberi posisi sama antara perhatian terhadap korban dengan perhatian terhadap terhukum.

 


Endnote



[1] Sihite, Romanny, Viktimologi. Diktat. FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.
[2] Soekanto, Soerjono, dan Pudji Santoso, Kamus Kriminologi, Ghalia Indonesia: Cetakan I, Jakarta, 1988, halaman 20.
[3] Lindquist, John H., Misdemeanor Crime, Triavial Criminal Persuit, Volume 4, California: Sage Publication, 1988, halaman 188.
[4] Hamzah, Andi, KUHP & KUHAP. Rineka Cipta: Jakarta, Cetakan Keenam, 1998, halaman 270-271.
[5] Lindquist, John H., Op. Cit. halaman 167-190.
[6] Bard, Morton and Dawn Sangrey, The Crime Victim Books, dikutip oleh Lindquist, Op. Cit. California: Sage Publication, 1988.
[7] Reif, Robert, The Invisible Victim: The Criminal Justice System’s Forgotten Responsibility, dikutip oleh Lindquist, Op. Cit. California: Sage Publication, 1988.
[8] Carmen, Andrew, Crime Victims: An Introduction to Victimology, dikutip oleh Lindquist, Op. Cit. California: Sage Publication, 1988.
[9] Lindquist, Op. Cit. California: Sage Publication, 1988, halaman 187-188.
[10] Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan. Cetakan Ketiga. Jakarta: Akademika Pressindo, 1993, halaman 199.
[11] Lindquist, Op. Cit. Halaman 188.
[12] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar