DISORIENTASI DEMOKRASI INDONESIA
Realitas Rakyat Menolong Caleg
Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah
Pragmatisme yang
Berantai
Realitas menunjukan bahwa masyarakat yang
mencoblos caleg memiliki paradigma "menolong caleg" agar mendapat
kursi DPR/DPRD. Di sisi lain, caleg pun tidak mendidik rakyat, mereka dengan naif meminta kepada masyarakat agar
memilih dirinya, slogan caleg: "berilah saya kesempatan menjadi anggota
dewan." Ada juga caleg yang mengaku bahwa "ia ingin menjadi anggota
dewan adalah untuk meningkatkan taraf hidupnya, ingin memperbaiki nasib
(mengadu nasib), atau ingin meningkatkan status sosialnya."
Dia mengaku bahwa perkataannya itu adalah
kejujuran, namun apakah tipe seperti ini orangnya yang akan memajukan
kepentingan orang banyak, padahal niat awalnya saja untuk kepentingan sendiri. Jika
paradigmanya demikian maka wajar jika warga ingin dibayar untuk mencontrengnya.
Sebelum caleg menjabat maka ia sudah
merencanakan hal-hal apa saja yang akan dilakukan untuk mendatangkan keuntungan
finansial dirinya. Mustahil ia mampu
merencanakan atau mengkonsepsikan rencana kemaslahatan bangsa.
Kenapa Caleg yang
Diusung Parpol Tidak memiliki Kapasitas
Kenapa caleg yang diusung parpol tidak
memiliki kapasitas? Sebab partai yang merekrut bukan memandang kapasitas caleg
melainkan kepentingan pragmatis, yaitu caleg yang populer, bukan caleg yang
memiliki kapasitas. Caleg memiliki popularitas dapat berdasarkan kapasitas,
sensasi, artis, dan politik uang. Yang menjamur subur pada pileg sekarang
adalah partai memilih sosok populer dari artis dan kalangan berduit.
Jika demikian siapa yang bisa memberikan
pendidikan politik? Partai politik, bertujuan
pragmatis yakni dorongan mendulang suara dengan cara instan dengan cara
merekrut caleg dari kalangan berduit dan artis. Caleg tak mampu menjabarkan konsep-konsep demokrasi kepada
masyarakat. Dan masyarakat (calon
pemilih) memandang caleg dan politik hanya terbatas kepada menolong caleg agar
duduk di kursi empuk sehingga mereka pun lebih memandang siapa caleg yang
memberinya bantuan instan sebagaimana layaknya bantuan sembako dan mie instan.
Kini tidak ada lagi pihak yang dapat
mengajarkan tentang konsep ilmiah dari sistem demokrasi: kepentingan jangka
pendek, jangkah menengah, dan jangka panjang untuk stabilitas bangsa dan
negara; semua kalangan sudah terjebak dengan sisi buruk dari demokrasi yaitu
ambisi kekuasaan dan kepentingan pragmatis. Tidaklah mengherankan jika output yang ditimbulkan adalah
kerusuhan, demo, dan konflik yang tak berkesudahan, di sisi lain perekonomian
negara makin terpuruk, ancaman disintegrasi, dekadensi moral, dan lunturnya
semangat nasionalisme. Hal inilah sebenarnya ancaman terbesar bangsa.
Sebuah negara yang disibukkan dengan urusan
konflik internal maka negara itu tak akan melangkah menuju negara yang lebih
baik, bahkan sebaliknya jika dibiarkan maka bersiaplah menuju jurang
keterpurukan nasional.
Antar caleg satu
partai saja saling sikut memperebutkan suara
Berdasarkan kesaksikan salah-seorang Caleg
bernama N, dari partai D, di Propinsi Bali. Ia telah mendapatkan 1.000 suara,
dan teman satu partainya bernama I mendapat 14 suara. Namun, I mengkalim dia
pemenangnya padahal yang dia peroleh hanya 14, formulir C1 hasil penghitungan
KPU Kabupaten dipegang caleg I. Caleg N meminta agar Caleg I membuka formulir
C1 agar bisa dilihat bersama-sama namun namun I tidak mau.
Caleg N mengetahui bahwa suaranya yang
awalnya 1.000 menjadi menurun ke angka 200, yang berarti ia terancam gagal
menduduki kursi DPRD Kabupaten. Kasus yang menimpa Caleg N ternyata banyak
menimpa caleg yang lainnya.
Proses penghitungan dimulai dari TPS, KPU
Kabupaten, dan seterusnya rentan dengan campur tangan Caleg yang sangat
berambisi. Ternyata Caleg harus mempersiapkan uang banyak, tidak hanya saat
hajatan pencoblosan melainkan setelah pemilu selesai, caleg juga harus
"mengawal" surat suara agar tidak dicuri oleh caleg lain, pengawalan
dimulai dari berbagai TPS, KPU Kabupaten, KPU Propinsi, sampai pusat. Tentunya,
stok uang para caleg harus tetap tersedia, untuk membiayai agar suara yang
telah diperoleh tidak hilang di tengah jalan, jangan sampai kasus yang menimpa
beberapa caleg terpilih yang akhirnya "gigit jari" tak jadi
melenggang ke kursi dewan yang terhormat.
Politik itu bagus jika digunakan untuk
mengkritisi pemimpin yang tidak adil, namun politik dapat merusak jika
dilakukan terhadap pemimpin yang adil. Sebab iklim politik selalu memunculkan
intrik. Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang adil lebih banyak ketimbang
pemimpin yang tidak adil, itulah kenapa jaman dulu peradaban lebih mudah
terbentuk.
Pemilu ulang yang Merugikan
Terlepas dari kesalahan di KPU atau teknis
di lapangan, bahwa pemilihan ulang telah merugikan aktifitas rakyat. Kebanyakan
pemilihan ulang diakibatkan oleh kekecewaan caleg karena suaranya kalah.
Kekecewaan seperti itu adalah subyektif, bukan kekecewaan orang banyak
(masyarakat). Kekecewaan caleg yang merugikan rakyat
Kita lihat, ketika mereka hendak
mencontreng, mereka naik ojek ke TPS, mereka mengeluarkan uang untuk sekedar
mengganjal perut menunggu antrian pencontrengan, pekerjaan di sawah mereka
tinggalkan, harusnya hari itu mereka memperoleh nafkah dari mata
pencahariannya.
Kenapa faktor kepentingan rakyat tidak
dipertimbangkan? Pencoblosan ulang itu menyita waktu rakyat yang ke sawah
ladang. Jangan hanya lantaran kekecewaan atau perseteruan antar caleg maka
rakyat yang dikorbankan. Kita lihat, hasilnya partisipasi masyarakat saat
pencoblosan ulang sangat rendah, mereka lebih memilih bekerja untuk menafkahi
keluarga, hal itu tentu lebih realistis jika kita juga diposisikan seperti
mereka.
Sekarang sudah bukan saatnya lagi
memperkenalkan pentingnya pemilu, sebab rakyat sudah memandang bahwa pemilu itu
tak lebih dari sekedar memanggul caleg agar duduk di kekuasaan.
Kampanye yang disampaikan tentang wawasan
kebangsaan dan nasionalisme tak akan berarti apa-apa, sebab "TST (tahu
sama tahu) lebih bergema mengalahkan segalanya.
Misi dari pihak yang berkampanye adalah
bagaimana supaya rakyat mencontreng saya, dan di sisi lain rakyat pun berpikir
sumbangan materi apa yang akan Caleg berikan untuk saya. Caleg memberi
“sesuatu” kepada rakyat maka rakyat pun akan memberi suara.
Warga yang mencontreng
perlu diberi konsumsi?
Ada anekdot dari para warga yang hendak
memilih, mereka mengatakan bahwa biasanya kalau menghadiri suatu undangan maka
mereka selalu disediakan prasmanan/konsumsi. Namun jika memenuhi undangan
pencontrengan tidak disediakan apa-apa. Padahal untuk menghadiri TPS mereka
kadangkala datang dari kampung yang berbeda, membawa keluarga yang otomatis
harus membawa uang untuk membeli jajanan. Di TPS mereka juga harus antri di
tengah terik matahari, menahan haus dan lapar, apalagi di kanan kiri berjejer
para pedagang.
Padahal warga sengaja datang meninggalkan
pekerjaan. Pegawai negeri dan pegawai swasta memang diliburkan, tetapi mereka
tetap memperoleh gaji. Kalau rakyat meninggalkan pekerjaan
(berdagang/bertani/nelayan) jika meninggalkan pekerjaan maka dari mana mereka
dapat makan.
Logikanya, apakah pemilih yang harus membawa
bekal makanan atau konsumsi ke tempat pencontrengan, kasihan mereka haus dahaga
untuk memenuhi undangan Pemilu.
Sebaliknya, para caleg, jika mereka telah
duduk di kursi dewan, setiap rapat mereka disediakan konsumsi, uang rapat, gaji
bulanan, berbagai fasilitas, tokh
mereka tidak juga memenuhi undangan rapat, hal ini terbukti dengan ruang rapat
yang kebanyakan kursi kosong melompong, padahal di tiap-tiap meja tersedia
minuman segar lengkap dengan katering.
Kertas surat suara
yang tidak efisien memberi efek psikologis yang kurang baik
Melihat kertas suara yang harus diisi
rakyat, formnya sangat menyulitkan. Kalangan terdidik pun banyak yang menilai
bahwa banyaknya partai ditambah dengan nama-nama caleg sangat tidak efisien.
Jika dibaca semua maka pemilih akan stress. Hal itu diungkapkan oleh kalangan
terdidik, lalu bagaimana jika dibaca oleh masyarakat awam, baik di perkotaan
apalagi di perkampungan. Yang patut disalahkan, sebenarnya rakyat atau yang
mengonsep (konseptor) surat suara? Adakah terpikir oleh para steakholder untuk melakukan efisiensi
dan langkah-langkah memudahkan saat pencoblosan berlangsung. Terlepas dari
kepentingan individu yang ada dalam tubuh setiap partai, atau kepentingan
antara satu partai dengan partai lainnya, maka sangat dibutuhkan suatu misi
bersama untuk mempermudah rakyat di dalam pelaksanaan pemilu, sebab jika partai
dan para calegnya tidak mau tertib maka jangan disalahkan apabila masyarakat
pun berlaku tidak tertib.
Rakyat ingin nyaman
saat memilih
Pemilu seyogyanya menjadi hari yang
menyenangkan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin. Namun, banyak dari
mereka yang saat datang tak bisa menyalurkan hak pilihnya karena namanya tak
tercantum dalam daftar pemilih. Para warga tersebut akhirnya dimohon menunggu
dari jam 08.00 sampai jam 12.00 guna menyampaikan hak pilihnya.
Ada di antara mereka yang menunggu, namun
banyak pula yang memilih pulang untuk melanjutkan aktifitas keseharian, ke
pasar, ke kebun atau sawah ladang.
Ironis, di satu sisi banyak nama pemilih
yang tercantum namun tak menggunakan hak pilihnya, dengan alasan sudah tidak
berdomisili di tempat yang bersangkutan, ada juga yang meninggal dunia namun
namanya masih tetap tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ibarat mobil bis,
banyak tempat duduk yang kosong, saat ada penumpang, tidak diperbolehkan masuk.
Jika partai politik atau caleg khawatir
dengan "rombongan pencoblos bayaran," bukankah hal itu jarang
terjadi, kalaupun antisipasi, maka KPPS dapat mengidentifikasi sebab mereka
bukan warganya.
Yang banyak terjadi, namun yang hingga kini
belum ada regulasi, adalah warga yang tinggal di sana dan dikenal oleh
masyarakat namun mereka tidak dapat memilih dengan alasan tidak tercantum dalam
DPT. Di sisi lain, KPPS tidak bisa melakukan "ijtihad/korespondensi"
sebab takut dituduh menyalah-gunakan wewenang. Sebenarnya kasus "rombongan
pemilih bayaran" jauh lebih sedikit frekuensinya, ketimbang kasus warga
yang tidak memperoleh daftar pemilih.
Banyaknya kasus warga yang tidak memperoleh
undangan patut mendapat perhatian pada pemilu mendatang.
Penyelenggara Pemilu
yang Terlalu Percaya Diri
Para pembuat kebijakan lebih terpengaruh
oleh opini partai atau caleg, daripada opini masyarakat.
Opini partai/caleg cenderung untuk mengawal
kepentingan mereka. Rumitnya aturan pemilu lebih disebabkan oleh paranoid bahwa partainya akan dicurangi
oleh partai lain sehingga dibuatlah aturan-aturan "aneh," getahnya
yang dirasakan masyarakat adalah bahwa pemilu banyak aturan, rakyat bukannya
difasilitasi atau dipermudah, melainkan dipersulit dan diperumit. Kenapa hal
ini terjadi? Sebab pemerintah (penyelenggara pemilu) lebih mendengarkan suara
caleg ketimbang suara rakyat, akibatnya rakyat dihadapkan kepada berbagai
kesulitan saat pencontrengan.
Parpol hanya
berkegiatan di saat Pemilu
Melihat cara kerja partai politik, mereka
hanya bekerja saat menjelang pemilu (Prof. Miriam Budiarjo, 2013:398). Setelah
selesai pemilu, maka partai seolah menghilang di masyarakat, kemudian muncul
lagi saat akan ada pemilu. Politik yang disosialisasikan kepada masyarakat
sangat mudah menjemukan, sebab politik selalu membahas kekuasaan dan
perbincangan siapa yang akan duduk dan siapa yang tersingkir. Tujuan parpol
adalah kekuasaan. Siapa saja mereka yang masuk parpol maka ia memiliki kans
menjadi pejabat publik. Sebagaimana dikatakan Giovani Sartori bahwa parpol
mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan publik
...and is capable of placing through
elections candidates for public office (G. Sartori, 1976).
Sosialisasi yang berlebihan kepada masyarakat tentang politik
yang notabene bermuatan ambisi kekuasaan maka akan cepat menimbulkan kejenuhan
di kalangan masyarakat (calon pemilih), sebab yang dibutuhkan oleh masyarakat
adalah implementasi. Yang ingin mereka rasakan adalah kesejahteraan,
terjaminnya perekonomian, pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum, dan
keamanan.
Rakyat bosan memilih:
Bukan pesta demokrasi tetapi beban demokrasi
Banyaknya pemilu (nasional, provinsi,
kabupaten, pilihan kepala desa, dan pilihan ketua RW), dan bersebarannya
spanduk/poster telah mengotori lingkungan. Secara fisik, lingkungan kotor, dan
secara mental ambisi kekuasaan telah mengotori ketulusan dan keluguan
masyarakat pedesaan. Sebab, poster-poster yang berfoto muka orang sebenarnya
merupakan hal tabu jika bercermin kepada budaya ketimuran, jika menggunakan
istilah anak sekolah, poster atau selebaran yang ada foto orang atau nama
biasanya disebut "lebay" atau "narsis."
Perkampungan yang asri kini telah dikotori
oleh poster dan foto, pohon-pohon rindang dipaku sebagai tempat poster. Satu
pohon bisa dipaku hingga 10 poster, mulai dari poster calon Ketua RW, calon
Kepala Desa, Calon Bupati, Calon Gubernur, Calon Presiden dan puluhan poster
calon legislatif.
Bersebarannya poster merupakan pendidikan
politik yang kurang baik, merusak keasrian, ketulusan, merusak pemandangan alam
dan pemandangan hati.
Gambar partai (Surat
Suara) perlu lebih disimpelkan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, banyak
dari masyarakat yang berharap bahwa gambar partai/jumlah partai disederhanakan
saja agar tidak menyulitkan para pemilih.
Surat suara yang tidak efisien dapat
menganggu aspirasi calon pemilih. Warna gambar yang hampir sama dapat
mengelabui pemilih, serta banyak lagi efek yang kurang bagus apabila surat
suara tidak disederhanakan. Logikanya, jika hanya mencontreng tiga kali, kenapa
harus dihadapkan kepada 100 item yang rumit. Letaknya yang belum diketahui
membuat calon pemilih terpaksa harus mengerutkan dahi berlama-lama untuk
mengetahui partai yang hendak dipilih. Hal itu, belum termasuk masyarakat yang
buta hurup, lanjut usia, atau yang memiliki keterbatasan penglihatan.
Setelah berakhirnya Era Orde Baru, para
politisi euporia dengan kebebasan
berpolitik. Warisan Orde Baru dipandang harus diganti semuanya, diganti dengan
ide yang baru. Perombakan total akhirnya berakibat menyulitkan diri sendiri.
Mereka yang merombak total akhirnya termenung sendiri, dan semoga nanti mereka mengevaluasi
bahwa tidak semua konsep orde baru harus dihapuskan. Cukup banyak warisan
pemimpin terdahulu yang perlu dipertahankan. Meskipun sebagiannya ada yang
harus dihilangkan atau diperbaiki.
Banyak caleg yang
divonis hakim karena politik uang
Di akhir masa pilihan legislatif (pileg),
banyak caleg yang divonis bersalah di pengadilan. Hal itu berbuntut dengan
didiskualifikasinya caleg untuk duduk di kursi kekuasaan. Mereka mengatakannya
"apes" sebab tidak mungkin politik tanpa disertai dengan uang. Jika
ditelusuri semua politisi yang berebut suara maka semuanya akan terkena jeratan
politik uang. Hal ini akan menambah deretan panjang caleg stress sehingga
semakin menurunkan pamor demokrasi itu sendiri.
Seharusnya Caleg
lebih tahu tentang demokrasi daripada masyarakat, bukan sebaliknya.
Realitas menunjukkan bahwa banyak caleg
sekarang yang diusung parpol memiliki pengetahuan politik yang sangat kurang.
Hal ini akan menimbulkan disorientasi dari
demokrasi menjadi kepentingan pribadi. Keterbatasan pengetahuan tentang politik
bagi caleg mengakibatkan mereka menjelma menjadi orang-orang yang ambisius
dengan kekuasaan. Di sisi lain, jika tergelincir atau tidak lolos dari pileg maka
mereka akan dijangkiti penyakit musiman yaitu sakit jiwa (stress). Jika melihat
sepak terjang Caleg maka kini rakyat yang sebenarnya lebih tahu tentang carut
marut demokrasi, mereka yang terjun di dunia politik (caleg) hanya menjadi
tumbal politik.
Sebagai contoh: Ketika mereka (caleg)
memberi sumbangan pengaspalan jalan kemudian ia tidak terpilih, selanjutnya si
caleg memerintahkan agar aspalnya diambil lagi dan mengatakan bahwa masyarakat
telah mengkhianati dirinya. Rakyat hanya bisa tertawa dan mengatakan bahwa
oknum caleg telah menjadi orang gila, apa bisa aspal dicabut lagi dari jalan.
Ajang Demokrasi atau
Ajang Audisi
Banyak politisi senior mengeluh sebab suara
untuk dirinya jeblok dikalahkan oleh
pendatang baru yang jor-joran mengeluarkan
dana kampanye.
Suksesi sekarang tak ubahnya ajang audisi
yang didukung oleh sms dari para pemirsa, siapa calon yang kiriman smsnya lebih
banyak maka dialah pemenangnya. Kiriman sms atau perolehan suara tidak bisa
dijadikan parameter kapasitas. Ada juga rakyat menolong caleg sebab kasihan ia
sudah kehabisan dana, jika tidak dicontreng maka caleg itu akan stress setelah
pileg.
Ada juga anggapan, bahwa caleg harus orang
kaya agar banyak cadangan harta untuk membiayai dana kampanye. Apabila demikian
maka politik dan kekuasaan hanya berpihak kepada orang kaya. Orang kaya akan
semakin korup dan kesenjangan sosial akan semakin merusak.
Substansi pemimpin bangsa sebenarnya bukan
terletak kepada faktor kaya miskin. Seorang pemimpin atau negarawan sejati
adalah ia yang peduli dan bertanggung-jawab terhadap nasib bangsanya, melakukan
karyanya untuk bangsa, memiliki visi dan misi yang revolusioner untuk memajukan
bangsanya.
Jika diibaratkan dengan sebuah keluarga.
Jika negara lain sudah dapat berbuat banyak, namun di suatu keluarga hanya
berkutat kepada masalah internal yang semakin carut marut. Melihat potensi yang
ada di Indonesia, hanya sistem yang perlu dibenahi, di samping pembenahan dalam
bidang yang lainnya. Sumber daya alam sudah cukup, yang belum adalah
optimalisasi sumber daya manusia.
Sebenarnya banyak ide brilian dari para
cendikiawan, negarawan atau ilmuwan di negeri ini, namun suara ambisi kekuasaan
masih jauh lebih lantang sehingga suara kebenaran, akal sehat dan inspirasi
menjadi teredam dengan sendirinya.
Jargon "jangan
salah-pilih" yang tidak populer
Slogan seperti itu sebenarnya kurang
populer, sebab semua orang telah berasumsi bahwa setiap kandidat, baik itu
caleg maupun capres; mereka adalah orang-orang terpilih. Logikanya, siapa pun
yang terpilih maka hal itu adalah baik, sebab diambil dari beberapa orang yang
baik.
Jika ada slogan "jangan salah
pilih" maka slogan itu akhirnya bertentangan dengan asumsi di atas.
Pendapat yang muncul adalah ambisi pribadi yang menganggap dirinya yang lebih
pantas dan berharap dukungan dari rakyat untuk menolong si calon duduk di kursi
kekuasaan.
Jika slogan "Jangan salah pilih"
terbukti keberadaannya, maka berarti seleksi individu melalui mekanisme partai
politik adalah telah gagal sebab parpol bukannya melahirkan pemimpin yang
berkualitas melainkan hanya mampu mengirimkan kucing-kucing dalam karung
sebagai kandidat pemimpin bangsa.
Kapan Politik dan
Suksesi Kepemimpinan Dibutuhkan
Politik hanya efektif jika dilakukan
terhadap penguasa yang zalim namun politik merupakan rencana jahat jika
ditujukan kepada pemimpin yang baik.
Jika politik dijadikan satu-satunya cara
dalam suatu penyelenggaraan negara maka selama itu pula negara akan labil,
tidak akan pernah stabil. Sebab politik awalnya diciptakan hanya untuk
instabilitas.
Politik tanpa dilembagakan juga akan tetap
muncul jika yang berkuasa berlaku sewenang-wenang, namun pendirian lembaga
politik akan menjadi bumerang jika ditujukan kepada kepemimpinan yang
kharismatik, pro rakyat, dan stabilitas dalam segala bidang. Jika demikian maka
warga yang memberinya lowongan kerja.
Kita tidak dapat melihat atau memojokkan
masyarakat saja tentang fenomena rakyat ingin diberi uang dari caleg. Kenapa
paradigma itu terbentu? Apa dasar pemikiran masyarakat melakukan hal demikian.
Jika ditelusuri bahwa dari sebagian pemilih memandang bahwa pencoblosan
(pencontrengan) mereka adalah untuk membantu caleg agar duduk di kursi
kekuasaan, jika motivasinya menolong, maka perlu ada timbal balik dari yang
ditolong (caleg), inilah paradigma yang berkembang. Fenomena tersebut merupakan
penyelewengan dari tujuan demokrasi itu sendiri.
Sejatinya politik itu merupakan sikap yang idealis sebab ruang
lingkupnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang menyebabkan politik
harus idealis. Namun dalam kenyataannya, politik banyak ditunggangi ditunggangi
kepentingan pragmatis, baik dari calon legislatif maupun dari calon pemilih.
Berbagai pengarahan
tak ada gunanya selama sistem masih bertolak-belakang dengan idealisme
Sejatinya, politik itu mengajarkan konsep
yang ideal: ilmiah dan alamiah. Ilmiah,
bermakna bahwa suatu kebijakan sepatutnya berdasarkan kepada aspek ilmu
pengetahuan, mengingat bangsa dan negara merupakan suatu lembaga besar yang
membutuhkan kebijaksanaan dan keadilan universal.
Alamiah bermakna, bahwa lahirnya sosok/calon
pemimpin merupakan produk dari penggemblengan di masyarakat, lahir dari
perjuangan, terobosan, inovasi yang eksistensinya diakui oleh masyarakat luas.
Lawan kata dari alamiah adalah instan,
apabila paradigma instan dipakai maka orang tiba-tiba bisa terkenal cukup
dengan membuat 1.000 spanduk dan intensitas iklan di media massa, maka dalam
sekejap orang tersebut dapat dikenal luas.
Kapasitas individu hanya dapat diperoleh
melalui proses yang alamiah, mustahil bisa ditemukan dalam sistem yang instan. Sebenarnya
tidak sulit untuk menelusuri siapa saja yang memiliki kapasitas pemimpin di
negeri besar seperti Indonesia—tidak lebih sulit daripada quick count yang berupaya memprediksi pemilu—Jika diumpamakan
kolam, banyak ikan-ikan besar yang layak mendapat perhatian dan kharismatik,
namun karena air kolam dibuat keruh oleh ambisi politisi, ikan besar tak
terlihat, ikan teri yang didapat.
Jakarta,
Mei 2014
Daftar Pustaka
G. Sartori, Parties and
Party Sistems: A Framework for Analysis. Cambridge: Cambridge University
Press, 1976. dikutip oleh Prof Miriam p 405.