Rabu, 28 Mei 2014

Negara dan Anggota Negara


NEGARA
DAN ANGGOTA NEGARA

Chairil A Adjis  dan  Dudi Akasyah

Falsafah negara sebagai suatu keluarga besar atau keluarga terbesar (the biggest family) merupakan konsep yang patut kita pertimbangkan, atau setidaknya perlu memperoleh apresiasi. Sebab darinya terdapat mainstrem agar kita bahu membahu mengangkat harkat derajat negara sebagaimana kita mengangkat harkat keluarga kita sendiri. Dalam sebuah keluarga kita bekerja sebagai suatu organisme yang bergerak dan memberi nilai guna penuh harmoni, kebersamaan, pengorbanan, totalitas, dan bahu membahu mengangkat keluarga. Demikian pula dengan martabat suatu negara jika dianalogikan sebagai keluarga besar.
Idealnya suatu negara menyimpan “ruh” yang merupakan akomodir dari sekian banyak individu di suatu negeri. Ruh dapat berasal dari seluruh komponen rakyat untuk mengabdi kepada negara, dapat juga berasal dari negara yang mampu memback-up aspirasi seluruh anggota, meski tidak sesuai dengan kebutuhan paling tidak mampu menyentuh kebersamaan atau terpenuhinya hajat secara merata.
Berbicara satu negara sebenarnya tidak terlalu besar, sebab di bumi ini terdapat sekurangnya 144 negara. Tidak juga dikatakan “remeh” sebab di dalam satu negara saja yang semisal Indonesia, terdapat 200 juta lebih kumpulan manusia yang berbeda motif ubun-ubunnya. Penekanan dalam catatan ini adalah, pentingnya perbaikan paradigma seluruh komponen bangsa dalam memandang apa itu negara, apa fungsi negara, bagaimana ruh bernegara, dan bagaimana seyogyanya orang memandang dan memposisikan dirinya di depan negara? Hal ini perlu diperhatikan sebab hampir semua anggota bangsa kini mulai kabur dan mengalami disorientasi ketika memandang eksistensi sebuah negara; permasalahan inilah yang sekarang  mewabah pada semua komponen bangsa.
Negara hanya sebuah benda mati jika ia ditinggalkan warganya. Keramat tidaknya suatu negara hanya berlaku disaat orang berbondong-bondong menjadi anggota negara. Sebaliknya, negara menjadi rumah kosong atau tinggal puing jika orang-orang meninggalkannya. Tidak akan ada yang bisa dibanggakan dari suatu negara bahkan boleh jadi tiba-tiba menjelma menjadi parasit. Ada orang ditanya: “Anda dari negeri mana” Ia menjawab bangga: “ Negara asal saya Inggris.” Tiba-tiba kawan kita tertunduk malu saat berkata: “Saya orang Indonesia.”
Rasa memiliki terhadap negeri teramat mahal untuk dimiliki oleh bangsa pada saat ini. Betapa tidak, antar institusi saling cemburu, semua departemen berlomba menuntut anggaran, para pegawai menuntut kenaikan gaji, para pengeluar pajak mengelabui pendapatan, korupsi di sana-sini, politik tak stabil, kenaikan harga terus-menerus, perusahaan banyak gulung tikar, PHK merajalela, utang negara semakin menumpuk, kemiskinan terlihat dengan kasat mata, dan kejahatan telah menjadi bagian endemik. Cepat atu lambat, penyakit-penyakit demikian menyeret negara pada kehancuran. Socrates (384-322 SM) mengatakan kemiskinan adalah biangnya revolusi dan kejahatan.
Salah satu gejala yang kurang baik ditunjukan dengan budaya banyak departemen yang menuntut anggaran berlebih. Bahkan hampir semua departemen. Tidak jarang satu departemen menunjuk sinis departemen lain. Para guru menuntut kenaikan gaji; propesi pilot, minta dipenuhi kesejahteraan; dokter, tentara, polisi, hakim, sampai kepada pejabat tinggi. Pertanyaan masyarakat awam adalah, sejauhmana rasa memiliki terhadap negara? Mana rasa kebersamaan dengan semua profesi termasuk profesi petani, nelayan, kuli, dsb). Padahal sudah terang benderang bahwa negara—berdasarkan RAPBN 2008—hanya punya duit 700 trilyun, pengeluaran 800 trilyun, sehingga nombok 100 trilyun. Adapun hutang mencapai 600 trilyun!.
Terdapat suatu anggapan yang perlu diluruskan, yaitu: Jika suatu departemen mendapat sumbangan besar dari negara menunjukan departemen tersebut berprestasi; inilah anggapan yang perlu dibenahi sebab jika demikian semua institusi akan berlomba dan saling sikut untuk mendapat anggaran dari negara. Padahal mestinya bentuk tanggung-jawab semua individu adalah menghemat keuangan negara. Munculnya kesadaran menghemat keuangan negara adalah sama dengan menyumbang kepada negara. Dengan demikian, sehat tidaknya suatu organ negara amat ditentukan oleh seberapa efisienkah anggaran dana mengalir; bukan ditentukan oleh besarnya dana negara yang mengalir kepada institusi tersebut.
Negara merupakan sebuah institusi yang di dalamnya terdapat sisitem layaknya rumah tangga. Maju tidaknya keluarga amat ditentukan oleh bapak, ibu, dan anak-anak. Sebanyak apapun kekayaan pemimpin keluarga, jika anak-anaknya tidak pintar mengelola maka keluarga itu diambang kehancuran; sebaliknya semiskin apapun suatu keluarga apabila seluruh anggota bergerak secara dinamis maka kesejahteraan keluarga telah menanti. Mungkin individu tidak merasa bahwa akibat dari perbuatannya tidak memberi akses untuk negara, padahal akibat tindakannya justru memberi akibat buruk bagi negara. Begitupun juga jika individu melakukan upaya untuk negara, meski ia tidak merasakan untuk negara, namun ia telah memberi sumbangan berharga untuk negara.
Mengamati berbagai gejolak di negeri ini yang melibatkan hampir seluruh warga dari semua kalangan, maka perlu penyadaran kolektif guna menumbuhkan kembali “semangat mengabdi” untuk semua pekerja, baik mereka yang berstatus pekerja institusional maupun pekerja sosial.

Demokrasi: Dipakai atau Ditinggalkan


 DEMOKRASI
Dipakai atau Ditinggalkan


Chairil A Adjis  dan  Dudi Akasyah

Bangsa Indonesia kini sedang belajar tentang bagaimana memformulasikan suatu bentuk negara ke arah yang lebih ideal. Pasca penjajahan kolonialisme yang berlangsung sekitar 350 tahun, diteruskan dengan masa proklamasi dan awal republik (Sukarno), sekitar 20 tahun, dilanjutkan dengan masa / rezim suharto (33 tahun) dimana negara dikontrol secara otoriter. Hal ini berlangsung hingga tahun 1998.
Dalam rentang 1998 sampai dengan sekarang (2014)—telah berlangsung 6 tahun—bangsa Indonesia dilanda euforia demokrasi, slogannya: Rakyat punya suara, rakyat memiliki kekuatan, rakyat bebas mengeluarkan pendapat dan sebagainya.
Presiden dipilih oleh rakyat, gubernur pun dipilih langsung oleh rakyat, sampai  pemilihan ketua RW. Spanduk bertebaran menempel di pohon-pohon. Presiden dibatasi kewenangannya, DPR-RI menetapkan ratusan undang-undang, komisi tumbuh menjamur bak cendawan dimusim hujan. Urusan berkutat dalam diskusi, rapat, musyawarah, dan perdebatan yang tidak berujung.
·      Kita dapat menyaksikan bahwa pada masa Soeharto banyak yang dapat dibangun, namun di alam demokrasi seperti saat ini sangat sulit untuk membangun, berapa banyak bangunan yang telah didirikan oleh pemimpin sebelumnya rontok tak ada yang merawat.
·      Di era demokrasi, yang tumbuh subur bukan pertanian, kelautan atau perdagangan, melainkan partai yang tumbuh subur. Bendera partai bertebaran di sana-sini, sosialisasi pilkada, pencitraan dan keributan-keributan politik yang mewabah dari daerah sampai pusat.
·      Bangsa Indonesia sekarang sedang belajar euforia demokrasi tentu ada akhirnya apabila pemandangan yang disaksikan membuat rakyat jenuh dan di sisi lain kebutuhan hidup semakin sulit.
·      Undang-undang digonta-ganti
Rakyat tidak membutuhkan presiden, tidak ingin direpotkan oleh urusan politik. Yang dibutuhkan adalah figur negarawan, melalaui dia negara akan diatur, ditata, dperbaiki menuju ke arah yang lebih baik.
Adapun tugas rakyat adalah bekerja keras, patuh, dan kreatif di dalam mengembangkan dirinya, hal tersebut merupakan sumbangsih nyata bagi kejayaan bangsa.
·      Beberapa metode/cara sedang di uji coba di negara ini, mulai dari vase kolonialisme, republik, demokrasi. Bangsa ini sedang mencoba, menyaksikan dan merasakan bagaimana efek dari satu era dengan era yang lainnya. Tentu yang dicari adalah sistem yang bagus, stabil, dan memberi lebih banyak manfaat ketimbang mudharat.
·      Setiap pergantian era, terjadi konsekuensi dimana negara berguncang dan korban berjatuhan seringkali tak bisa dihindarkan.
·      Di negeri ini banyak para cndikiawan sehingga pada suatu saat nanti akan muncul negarawan yang mampu mengelola negeri dengan bijak serta menjadi panutan bagi seluruh rakyatnya.
·      Sifat manusia adalah tidak suka kepada yang tidak baik, suka kepada yang baik, dan lebih suka kepada yang lebih baik. Mereka sekarang sedang mengenal demokrasi dan mempraktikan demokrasi. Adapun apakah demokrasi nanti akan dipakai atau tidak, maka tergantung kepada asas manfaat. Jika demokrasi memberi manfaat maka akan dipakai dan dipertahankan; jika sebaliknya maka demokrasi akan ditinggalkan.
Setelah enam tahun melihat hasil kerja dari demokrasi, ada beberapa hal yang patut diperhatikan  :
1.      Seseorang yang akan menjadi pemimpin adalah ia yang memiliki harta yang banyak, perusahaan-perusahaan  membantu finansial, atau ia yang memiliki media massa untuk pencitraan. Dana digunakan untuk publikasi figur, sumbangan-sumbangan kepada calon pemilih dan sumbangan wajib kepada partai yang mengorbitkannya.
2.      Rakyat dieksploitasi untuk memilih calon yang sudah disetting oleh pihak-pihak yang ambisi kekuasaan. Tidak ada ruang bagi rakyat untuk memilih calon yang sesuai dengan harapannya.
3.      Iklim demokrasi memunculkan lembaga-lembaga baru yang membebani keuangan negara, di sisi lain menciptakan iklim jalan sendiri-sendiri, koordinasi tak berjalan, masing-masing lembaga merasa memiliki kekuasaannya sendiri-sendiri. Jika demikian, siapa yang bertanggung-jawab menjaga keuangan negara? Siapa penanggung-jawab utama untuk mengelola negara menuju kemajuan? Untuk mewujudkan kerjasama tim maka diperlukan satu koordinasi, sebuah yang anggotanya sedikit pun membutuhkan satu koordinator, maka apatah lagi suatu negara yang berpenduduk 250 juta jiwa.
4.      Di alam demokrasi ini, muncul pendapat bahwa untuk menjadi pemimpin harus berasal dari orang kaya. Benarkah demikian? Ada juga pendapat, orang miskin tidak  boleh menjadi pejabat sebab setelahnya mmenjabat maka ia akan menggunakan “aji mumpung” mengeruk uang negara. Benarkah demikian? Banyak orang kaya namun setelah menjabat ia korupsi, banyak juga orang miskin di saat ia menjabat “seperti kacang lupa kulitnya.” Kaya dan miskin tidak menjadi syarat di dalam kepemimpinan. Syarat utama pemimpin adalah amanah, cerdas dan memiliki kemampuan di dalam mengelola negerinya, baik pengelolaan secara internal (stabilitas neggara) maupun secara eksternal kreatif  di dalam menjalin dan menumbuhkan harmonisasi antar kepala negara/dunia internasional.
5.      Manfaat apa yang dirasakan di alam demokrasi? Yang paling banyak dirasakan bangsa Indonesia saat ini adalah berseliwerannya spanduk partai, foto-foto caleg yang narsis, pilkada yang membosankan, keributan antar pendukung calon, debat-debat politik yang hampa aksi. Alam demokrasi tidak menciptakan kemajuan apapun melainkan hanya mengguritanya parta-partai politik.
6.      Demokrasi sebagai produk impor. Sebagaimana lazimnya yang berlaku di negara kita yang senantiasa memegang teguh adat istiadat bangsa. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa. Sejarah juga menunjukan bahwa nusantara pernah berjaya di lingkup regional sejak jaman kerajaan-kerajaan. Kini, Indonesia telah bersatu, menghimpun ribuan pulau (17.499), ratusan suku bangsa dan bahasa. Untuk mewujudkan kebersatuan bangsa maka diperlukan sistem yang bagus. Mampukah Indonesia menghasilkan suatu konsep hasil karya bangsa sendiri. Produk dari luar (seperti demokrasi) perlu diseleksi, dipelajari, dan dikaji secara cermat. Produk dari luar negeri ada kalanya baik dan banyak juga yang tak layak. Apalagi jika dilihat produk asing (demokrasi) yang telah dipakai di beberapa negara lebih sering menimbulkan konflik ketimbang perdamaian. Hanya Amerika sebagai negara demokrasi yang mampu stabil, tetapi hal itu belum cukup, sebab Amerika terlalu banyak menyimpan rahasia di balik layar yang jika dibongkar akan lebih tragis melebihi laporannya Snowden.
 
Jakarta,  Juli 2010

Pemerintah, Indonesia, dan BBM


PEMERINTAH, INDONESIA DAN BBM

 Chairil A Adjis    -    Dudi Akasyah

Bagi pemerintah, berhati-hatilah saat “berdekatan” dengan BBM. Bahkan hanya sekedar menebar isu pun tentang BBM, hal itu sudah merupakan pantangan. Pada jaman industrialisasi seperti sekarang ini, BBM merupakan inti dari kebutuhan masyarakat. Gejolak emosi sampai kepada anarkisme dapat bermula dari energi yang satu ini. Belum ditambah dengan kenaikan harga yang dilancarkan spekulan sampai dengan terjadinya laju inflasi.
Pemerintah selalu menyampaikan bahwa kepentingan rakyat adalah nomor satu, tidak boleh ada seorang pun masyarakat yang dirugikan. Hal ini perlu diapresiasi dan hal itulah essensi dari sebuah negara sebagai penjelmaan dari kepentingan komunitas yang berada di dalamnya.
Namun yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya, kondisi masyarakat sangat memprihatinkan. Dilihat dari semua sisi, masyarakat semakin dikungkung oleh berbagai kesulitan. Tidak ada satu pun yang memudahkan. Slogan-slogan yang bertebaran di jalanan bahwa “kami membantu rakyat” tak lebih dari sekedar lip service untuk menutupi slogan yang sebenarnya “kami membantu kami.”elinat
Pemerintah hanya melihat keuntungan yang sempit sementara kerugian yang bersifat menyeluruh tidak pernah diperhitungkan. Hanya lantaran ingin menyelamatkan defisit subsidi, mereka mengorbankan kepentingan masyarakat seluruhnya.
Jika diibaratkan dengan permainan sepakbola, pemerintah tak ubahnya seperti berkutat di satu titik yang dikerubuti oleh para pemain. Pemerintah tidak mau memanfaatkan lebar lapangan dan mengatur strategi. Akibatnya suasana tidak kondusif. Musuh semakin menyerang sementara kita berkutat di satu tempat yang sempit.
Sempit memang, jika suatu keputusan bersumber dari pemikiran yang sempit. Kemiskinan dapat muncul dari miskinnya solusi yang berakibat kemiskinan menyebar dan menciptakan kemiskinan yang terstruktur.
Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Sumber daya alamnya berlimpah, sumber daya manusianya banyak. Inilah yang perlu dicermati pemerintah, daripada berkutat pada “pembahasan kenaikan BBM.” Indonesia bukan negara yang sempit, bukan pula negara tandus, tidak juga negara tanpa pantai, atau negara kekurangan penduduk, semua syarat untuk menjadi negara maju telah ada di Indonesia, hanya saja kembali kepada siapa yang akan mengelolanya.
Bangsa Indonesia bukan bangsa yang tinggal di kontrakan dimana semuanya serba bayar, tidak mempunyai tanah, tidak dapat berdagang, bertani, atau mengambil ikan. Bukan, bangsa Indonesia menempati tanah yang luas dan kekayaan alam melimpah.
Sejarah menunjukan bahwa betapa negara-negara asing sangat tertarik dengan kekayaan alam Indonesia. Sampai saat ini setiap turis yang datang ke Indonesia tetap mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara fantastic dilihat dari panorama alam dan sumber daya alamnya.
Tanah di Indonesia merupakan tanah subur, apabila dikelola dengan sungguh-sungguh sudah mampu menyejahterakan seluruh rakyat, ditambah dengan potensi hutan tropis, garis pantai terpanjang sedunia yang mampu menyejahterakan rakyat dari bidang kelautan dan perdagangan, semaraknya industri, perusahaan negara, ditambah dari pertambangan seperti tambang emas, perak, timah dan sebagainya.
Apabila rakyat bertanya: Kami menuntut hasil dari kekayaan alam Indonesia? mana hasil dari kelautan Indonesia, disimpan dimana keuntungan dari pertambangan nasional? Jika dilihat secara sepintas adalah naif, kekayaan alam ditangguk pemerintah dan uang rakyat diperas dengan kenaikan harga.
*****
Adalah ironi jika pemerintah hanya dekat dengan BBM, tetapi lupa dengan potensi yang lainnya. Apapun dalih pemerintah dalam menaikkan harga BBM maka rakyat memandang bahwa keputusan itu bukan keputusan yang cerdas. Pemerintah perlu berpikir mendalam sedalam Samudera Indonesia. Pemerintah perlu memiliki pandangan yang luas, seluas wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.


Disorientasi Demokrasi Indonesia


DISORIENTASI DEMOKRASI INDONESIA
Realitas Rakyat Menolong Caleg

Chairil A Adjis dan Dudi Akasyah

Pragmatisme yang Berantai
Realitas menunjukan bahwa masyarakat yang mencoblos caleg memiliki paradigma "menolong caleg" agar mendapat kursi DPR/DPRD. Di sisi lain, caleg pun tidak mendidik rakyat, mereka dengan naif meminta kepada masyarakat agar memilih dirinya, slogan caleg: "berilah saya kesempatan menjadi anggota dewan." Ada juga caleg yang mengaku bahwa "ia ingin menjadi anggota dewan adalah untuk meningkatkan taraf hidupnya, ingin memperbaiki nasib (mengadu nasib), atau ingin meningkatkan status sosialnya."
Dia mengaku bahwa perkataannya itu adalah kejujuran, namun apakah tipe seperti ini orangnya yang akan memajukan kepentingan orang banyak, padahal niat awalnya saja untuk kepentingan sendiri. Jika paradigmanya demikian maka wajar jika warga ingin dibayar untuk mencontrengnya.
Sebelum caleg menjabat maka ia sudah merencanakan hal-hal apa saja yang akan dilakukan untuk mendatangkan keuntungan finansial dirinya. Mustahil ia  mampu merencanakan atau mengkonsepsikan rencana kemaslahatan bangsa.
Kenapa Caleg yang Diusung Parpol Tidak memiliki Kapasitas
Kenapa caleg yang diusung parpol tidak memiliki kapasitas? Sebab partai yang merekrut bukan memandang kapasitas caleg melainkan kepentingan pragmatis, yaitu caleg yang populer, bukan caleg yang memiliki kapasitas. Caleg memiliki popularitas dapat berdasarkan kapasitas, sensasi, artis, dan politik uang. Yang menjamur subur pada pileg sekarang adalah partai memilih sosok populer dari artis dan kalangan berduit.
Jika demikian siapa yang bisa memberikan pendidikan politik? Partai politik, bertujuan pragmatis yakni dorongan mendulang suara dengan cara instan dengan cara merekrut caleg dari kalangan berduit dan artis. Caleg tak mampu menjabarkan konsep-konsep demokrasi kepada masyarakat. Dan masyarakat (calon pemilih) memandang caleg dan politik hanya terbatas kepada menolong caleg agar duduk di kursi empuk sehingga mereka pun lebih memandang siapa caleg yang memberinya bantuan instan sebagaimana layaknya bantuan sembako dan mie instan.
Kini tidak ada lagi pihak yang dapat mengajarkan tentang konsep ilmiah dari sistem demokrasi: kepentingan jangka pendek, jangkah menengah, dan jangka panjang untuk stabilitas bangsa dan negara; semua kalangan sudah terjebak dengan sisi buruk dari demokrasi yaitu ambisi kekuasaan dan kepentingan pragmatis. Tidaklah mengherankan jika output yang ditimbulkan adalah kerusuhan, demo, dan konflik yang tak berkesudahan, di sisi lain perekonomian negara makin terpuruk, ancaman disintegrasi, dekadensi moral, dan lunturnya semangat nasionalisme. Hal inilah sebenarnya ancaman terbesar bangsa.
Sebuah negara yang disibukkan dengan urusan konflik internal maka negara itu tak akan melangkah menuju negara yang lebih baik, bahkan sebaliknya jika dibiarkan maka bersiaplah menuju jurang keterpurukan nasional.
Antar caleg satu partai saja saling sikut memperebutkan suara
Berdasarkan kesaksikan salah-seorang Caleg bernama N, dari partai D, di Propinsi Bali. Ia telah mendapatkan 1.000 suara, dan teman satu partainya bernama I mendapat 14 suara. Namun, I mengkalim dia pemenangnya padahal yang dia peroleh hanya 14, formulir C1 hasil penghitungan KPU Kabupaten dipegang caleg I. Caleg N meminta agar Caleg I membuka formulir C1 agar bisa dilihat bersama-sama namun namun I tidak mau.
Caleg N mengetahui bahwa suaranya yang awalnya 1.000 menjadi menurun ke angka 200, yang berarti ia terancam gagal menduduki kursi DPRD Kabupaten. Kasus yang menimpa Caleg N ternyata banyak menimpa caleg yang lainnya.
Proses penghitungan dimulai dari TPS, KPU Kabupaten, dan seterusnya rentan dengan campur tangan Caleg yang sangat berambisi. Ternyata Caleg harus mempersiapkan uang banyak, tidak hanya saat hajatan pencoblosan melainkan setelah pemilu selesai, caleg juga harus "mengawal" surat suara agar tidak dicuri oleh caleg lain, pengawalan dimulai dari berbagai TPS, KPU Kabupaten, KPU Propinsi, sampai pusat. Tentunya, stok uang para caleg harus tetap tersedia, untuk membiayai agar suara yang telah diperoleh tidak hilang di tengah jalan, jangan sampai kasus yang menimpa beberapa caleg terpilih yang akhirnya "gigit jari" tak jadi melenggang ke kursi dewan yang terhormat.
Politik itu bagus jika digunakan untuk mengkritisi pemimpin yang tidak adil, namun politik dapat merusak jika dilakukan terhadap pemimpin yang adil. Sebab iklim politik selalu memunculkan intrik. Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin yang adil lebih banyak ketimbang pemimpin yang tidak adil, itulah kenapa jaman dulu peradaban lebih mudah terbentuk.
Pemilu ulang yang Merugikan
Terlepas dari kesalahan di KPU atau teknis di lapangan, bahwa pemilihan ulang telah merugikan aktifitas rakyat. Kebanyakan pemilihan ulang diakibatkan oleh kekecewaan caleg karena suaranya kalah. Kekecewaan seperti itu adalah subyektif, bukan kekecewaan orang banyak (masyarakat). Kekecewaan caleg yang merugikan rakyat
Kita lihat, ketika mereka hendak mencontreng, mereka naik ojek ke TPS, mereka mengeluarkan uang untuk sekedar mengganjal perut menunggu antrian pencontrengan, pekerjaan di sawah mereka tinggalkan, harusnya hari itu mereka memperoleh nafkah dari mata pencahariannya.
Kenapa faktor kepentingan rakyat tidak dipertimbangkan? Pencoblosan ulang itu menyita waktu rakyat yang ke sawah ladang. Jangan hanya lantaran kekecewaan atau perseteruan antar caleg maka rakyat yang dikorbankan. Kita lihat, hasilnya partisipasi masyarakat saat pencoblosan ulang sangat rendah, mereka lebih memilih bekerja untuk menafkahi keluarga, hal itu tentu lebih realistis jika kita juga diposisikan seperti mereka.
Sekarang sudah bukan saatnya lagi memperkenalkan pentingnya pemilu, sebab rakyat sudah memandang bahwa pemilu itu tak lebih dari sekedar memanggul caleg agar duduk di kekuasaan.
Kampanye yang disampaikan tentang wawasan kebangsaan dan nasionalisme tak akan berarti apa-apa, sebab "TST (tahu sama tahu) lebih bergema mengalahkan segalanya.
Misi dari pihak yang berkampanye adalah bagaimana supaya rakyat mencontreng saya, dan di sisi lain rakyat pun berpikir sumbangan materi apa yang akan Caleg berikan untuk saya. Caleg memberi “sesuatu” kepada rakyat maka rakyat pun akan memberi suara.
Warga yang mencontreng perlu diberi konsumsi?
Ada anekdot dari para warga yang hendak memilih, mereka mengatakan bahwa biasanya kalau menghadiri suatu undangan maka mereka selalu disediakan prasmanan/konsumsi. Namun jika memenuhi undangan pencontrengan tidak disediakan apa-apa. Padahal untuk menghadiri TPS mereka kadangkala datang dari kampung yang berbeda, membawa keluarga yang otomatis harus membawa uang untuk membeli jajanan. Di TPS mereka juga harus antri di tengah terik matahari, menahan haus dan lapar, apalagi di kanan kiri berjejer para pedagang.
Padahal warga sengaja datang meninggalkan pekerjaan. Pegawai negeri dan pegawai swasta memang diliburkan, tetapi mereka tetap memperoleh gaji. Kalau rakyat meninggalkan pekerjaan (berdagang/bertani/nelayan) jika meninggalkan pekerjaan maka dari mana mereka dapat makan.
Logikanya, apakah pemilih yang harus membawa bekal makanan atau konsumsi ke tempat pencontrengan, kasihan mereka haus dahaga untuk memenuhi undangan Pemilu.
Sebaliknya, para caleg, jika mereka telah duduk di kursi dewan, setiap rapat mereka disediakan konsumsi, uang rapat, gaji bulanan, berbagai fasilitas, tokh mereka tidak juga memenuhi undangan rapat, hal ini terbukti dengan ruang rapat yang kebanyakan kursi kosong melompong, padahal di tiap-tiap meja tersedia minuman segar lengkap dengan katering.
Kertas surat suara yang tidak efisien memberi efek psikologis yang kurang baik
Melihat kertas suara yang harus diisi rakyat, formnya sangat menyulitkan. Kalangan terdidik pun banyak yang menilai bahwa banyaknya partai ditambah dengan nama-nama caleg sangat tidak efisien. Jika dibaca semua maka pemilih akan stress. Hal itu diungkapkan oleh kalangan terdidik, lalu bagaimana jika dibaca oleh masyarakat awam, baik di perkotaan apalagi di perkampungan. Yang patut disalahkan, sebenarnya rakyat atau yang mengonsep (konseptor) surat suara? Adakah terpikir oleh para steakholder untuk melakukan efisiensi dan langkah-langkah memudahkan saat pencoblosan berlangsung. Terlepas dari kepentingan individu yang ada dalam tubuh setiap partai, atau kepentingan antara satu partai dengan partai lainnya, maka sangat dibutuhkan suatu misi bersama untuk mempermudah rakyat di dalam pelaksanaan pemilu, sebab jika partai dan para calegnya tidak mau tertib maka jangan disalahkan apabila masyarakat pun berlaku tidak tertib.

Rakyat ingin nyaman saat memilih
Pemilu seyogyanya menjadi hari yang menyenangkan bagi rakyat untuk memilih calon pemimpin. Namun, banyak dari mereka yang saat datang tak bisa menyalurkan hak pilihnya karena namanya tak tercantum dalam daftar pemilih. Para warga tersebut akhirnya dimohon menunggu dari jam 08.00 sampai jam 12.00 guna menyampaikan hak pilihnya.
Ada di antara mereka yang menunggu, namun banyak pula yang memilih pulang untuk melanjutkan aktifitas keseharian, ke pasar, ke kebun atau sawah ladang.
Ironis, di satu sisi banyak nama pemilih yang tercantum namun tak menggunakan hak pilihnya, dengan alasan sudah tidak berdomisili di tempat yang bersangkutan, ada juga yang meninggal dunia namun namanya masih tetap tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ibarat mobil bis, banyak tempat duduk yang kosong, saat ada penumpang, tidak diperbolehkan masuk.
Jika partai politik atau caleg khawatir dengan "rombongan pencoblos bayaran," bukankah hal itu jarang terjadi, kalaupun antisipasi, maka KPPS dapat mengidentifikasi sebab mereka bukan warganya.
Yang banyak terjadi, namun yang hingga kini belum ada regulasi, adalah warga yang tinggal di sana dan dikenal oleh masyarakat namun mereka tidak dapat memilih dengan alasan tidak tercantum dalam DPT. Di sisi lain, KPPS tidak bisa melakukan "ijtihad/korespondensi" sebab takut dituduh menyalah-gunakan wewenang. Sebenarnya kasus "rombongan pemilih bayaran" jauh lebih sedikit frekuensinya, ketimbang kasus warga yang tidak memperoleh daftar pemilih.
Banyaknya kasus warga yang tidak memperoleh undangan patut mendapat perhatian pada pemilu mendatang.
Penyelenggara Pemilu yang Terlalu Percaya Diri
Para pembuat kebijakan lebih terpengaruh oleh opini partai atau caleg, daripada opini masyarakat.
Opini partai/caleg cenderung untuk mengawal kepentingan mereka. Rumitnya aturan pemilu lebih disebabkan oleh paranoid bahwa partainya akan dicurangi oleh partai lain sehingga dibuatlah aturan-aturan "aneh," getahnya yang dirasakan masyarakat adalah bahwa pemilu banyak aturan, rakyat bukannya difasilitasi atau dipermudah, melainkan dipersulit dan diperumit. Kenapa hal ini terjadi? Sebab pemerintah (penyelenggara pemilu) lebih mendengarkan suara caleg ketimbang suara rakyat, akibatnya rakyat dihadapkan kepada berbagai kesulitan saat pencontrengan.
Parpol hanya berkegiatan di saat Pemilu
Melihat cara kerja partai politik, mereka hanya bekerja saat menjelang pemilu (Prof. Miriam Budiarjo, 2013:398). Setelah selesai pemilu, maka partai seolah menghilang di masyarakat, kemudian muncul lagi saat akan ada pemilu. Politik yang disosialisasikan kepada masyarakat sangat mudah menjemukan, sebab politik selalu membahas kekuasaan dan perbincangan siapa yang akan duduk dan siapa yang tersingkir. Tujuan parpol adalah kekuasaan. Siapa saja mereka yang masuk parpol maka ia memiliki kans menjadi pejabat publik. Sebagaimana dikatakan Giovani Sartori bahwa parpol mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan publik
 ...and is capable of placing through elections candidates for public office (G. Sartori, 1976).
Sosialisasi yang berlebihan kepada masyarakat tentang politik yang notabene bermuatan ambisi kekuasaan maka akan cepat menimbulkan kejenuhan di kalangan masyarakat (calon pemilih), sebab yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah implementasi. Yang ingin mereka rasakan adalah kesejahteraan, terjaminnya perekonomian, pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum, dan keamanan.
Rakyat bosan memilih: Bukan pesta demokrasi tetapi beban demokrasi
Banyaknya pemilu (nasional, provinsi, kabupaten, pilihan kepala desa, dan pilihan ketua RW), dan bersebarannya spanduk/poster telah mengotori lingkungan. Secara fisik, lingkungan kotor, dan secara mental ambisi kekuasaan telah mengotori ketulusan dan keluguan masyarakat pedesaan. Sebab, poster-poster yang berfoto muka orang sebenarnya merupakan hal tabu jika bercermin kepada budaya ketimuran, jika menggunakan istilah anak sekolah, poster atau selebaran yang ada foto orang atau nama biasanya disebut "lebay" atau "narsis."
Perkampungan yang asri kini telah dikotori oleh poster dan foto, pohon-pohon rindang dipaku sebagai tempat poster. Satu pohon bisa dipaku hingga 10 poster, mulai dari poster calon Ketua RW, calon Kepala Desa, Calon Bupati, Calon Gubernur, Calon Presiden dan puluhan poster calon legislatif.
Bersebarannya poster merupakan pendidikan politik yang kurang baik, merusak keasrian, ketulusan, merusak pemandangan alam dan pemandangan hati.
Gambar partai (Surat Suara) perlu lebih disimpelkan
Berdasarkan pengamatan di lapangan, banyak dari masyarakat yang berharap bahwa gambar partai/jumlah partai disederhanakan saja agar tidak menyulitkan para pemilih.
Surat suara yang tidak efisien dapat menganggu aspirasi calon pemilih. Warna gambar yang hampir sama dapat mengelabui pemilih, serta banyak lagi efek yang kurang bagus apabila surat suara tidak disederhanakan. Logikanya, jika hanya mencontreng tiga kali, kenapa harus dihadapkan kepada 100 item yang rumit. Letaknya yang belum diketahui membuat calon pemilih terpaksa harus mengerutkan dahi berlama-lama untuk mengetahui partai yang hendak dipilih. Hal itu, belum termasuk masyarakat yang buta hurup, lanjut usia, atau yang memiliki keterbatasan penglihatan.
Setelah berakhirnya Era Orde Baru, para politisi euporia dengan kebebasan berpolitik. Warisan Orde Baru dipandang harus diganti semuanya, diganti dengan ide yang baru. Perombakan total akhirnya berakibat menyulitkan diri sendiri. Mereka yang merombak total akhirnya termenung sendiri, dan semoga nanti mereka mengevaluasi bahwa tidak semua konsep orde baru harus dihapuskan. Cukup banyak warisan pemimpin terdahulu yang perlu dipertahankan. Meskipun sebagiannya ada yang harus dihilangkan atau diperbaiki.

Banyak caleg yang divonis hakim karena politik uang
Di akhir masa pilihan legislatif (pileg), banyak caleg yang divonis bersalah di pengadilan. Hal itu berbuntut dengan didiskualifikasinya caleg untuk duduk di kursi kekuasaan. Mereka mengatakannya "apes" sebab tidak mungkin politik tanpa disertai dengan uang. Jika ditelusuri semua politisi yang berebut suara maka semuanya akan terkena jeratan politik uang. Hal ini akan menambah deretan panjang caleg stress sehingga semakin menurunkan pamor demokrasi itu sendiri.
Seharusnya Caleg lebih tahu tentang demokrasi daripada masyarakat, bukan sebaliknya.
Realitas menunjukkan bahwa banyak caleg sekarang yang diusung parpol memiliki pengetahuan politik yang sangat kurang.
Hal ini akan menimbulkan disorientasi dari demokrasi menjadi kepentingan pribadi. Keterbatasan pengetahuan tentang politik bagi caleg mengakibatkan mereka menjelma menjadi orang-orang yang ambisius dengan kekuasaan. Di sisi lain, jika tergelincir atau tidak lolos dari pileg maka mereka akan dijangkiti penyakit musiman yaitu sakit jiwa (stress). Jika melihat sepak terjang Caleg maka kini rakyat yang sebenarnya lebih tahu tentang carut marut demokrasi, mereka yang terjun di dunia politik (caleg) hanya menjadi tumbal politik.
Sebagai contoh: Ketika mereka (caleg) memberi sumbangan pengaspalan jalan kemudian ia tidak terpilih, selanjutnya si caleg memerintahkan agar aspalnya diambil lagi dan mengatakan bahwa masyarakat telah mengkhianati dirinya. Rakyat hanya bisa tertawa dan mengatakan bahwa oknum caleg telah menjadi orang gila, apa bisa aspal dicabut lagi dari jalan.
Ajang Demokrasi atau Ajang Audisi
Banyak politisi senior mengeluh sebab suara untuk dirinya jeblok dikalahkan oleh pendatang baru yang jor-joran mengeluarkan dana kampanye.
Suksesi sekarang tak ubahnya ajang audisi yang didukung oleh sms dari para pemirsa, siapa calon yang kiriman smsnya lebih banyak maka dialah pemenangnya. Kiriman sms atau perolehan suara tidak bisa dijadikan parameter kapasitas. Ada juga rakyat menolong caleg sebab kasihan ia sudah kehabisan dana, jika tidak dicontreng maka caleg itu akan stress setelah pileg.
Ada juga anggapan, bahwa caleg harus orang kaya agar banyak cadangan harta untuk membiayai dana kampanye. Apabila demikian maka politik dan kekuasaan hanya berpihak kepada orang kaya. Orang kaya akan semakin korup dan kesenjangan sosial akan semakin merusak.
Substansi pemimpin bangsa sebenarnya bukan terletak kepada faktor kaya miskin. Seorang pemimpin atau negarawan sejati adalah ia yang peduli dan bertanggung-jawab terhadap nasib bangsanya, melakukan karyanya untuk bangsa, memiliki visi dan misi yang revolusioner untuk memajukan bangsanya.
Jika diibaratkan dengan sebuah keluarga. Jika negara lain sudah dapat berbuat banyak, namun di suatu keluarga hanya berkutat kepada masalah internal yang semakin carut marut. Melihat potensi yang ada di Indonesia, hanya sistem yang perlu dibenahi, di samping pembenahan dalam bidang yang lainnya. Sumber daya alam sudah cukup, yang belum adalah optimalisasi sumber daya manusia.
Sebenarnya banyak ide brilian dari para cendikiawan, negarawan atau ilmuwan di negeri ini, namun suara ambisi kekuasaan masih jauh lebih lantang sehingga suara kebenaran, akal sehat dan inspirasi menjadi teredam dengan sendirinya.
Jargon "jangan salah-pilih" yang tidak populer
Slogan seperti itu sebenarnya kurang populer, sebab semua orang telah berasumsi bahwa setiap kandidat, baik itu caleg maupun capres; mereka adalah orang-orang terpilih. Logikanya, siapa pun yang terpilih maka hal itu adalah baik, sebab diambil dari beberapa orang yang baik.
Jika ada slogan "jangan salah pilih" maka slogan itu akhirnya bertentangan dengan asumsi di atas. Pendapat yang muncul adalah ambisi pribadi yang menganggap dirinya yang lebih pantas dan berharap dukungan dari rakyat untuk menolong si calon duduk di kursi kekuasaan.
Jika slogan "Jangan salah pilih" terbukti keberadaannya, maka berarti seleksi individu melalui mekanisme partai politik adalah telah gagal sebab parpol bukannya melahirkan pemimpin yang berkualitas melainkan hanya mampu mengirimkan kucing-kucing dalam karung sebagai kandidat pemimpin bangsa.
Kapan Politik dan Suksesi Kepemimpinan Dibutuhkan
Politik hanya efektif jika dilakukan terhadap penguasa yang zalim namun politik merupakan rencana jahat jika ditujukan kepada pemimpin yang baik.
Jika politik dijadikan satu-satunya cara dalam suatu penyelenggaraan negara maka selama itu pula negara akan labil, tidak akan pernah stabil. Sebab politik awalnya diciptakan hanya untuk instabilitas.
Politik tanpa dilembagakan juga akan tetap muncul jika yang berkuasa berlaku sewenang-wenang, namun pendirian lembaga politik akan menjadi bumerang jika ditujukan kepada kepemimpinan yang kharismatik, pro rakyat, dan stabilitas dalam segala bidang. Jika demikian maka warga yang memberinya lowongan kerja.
Kita tidak dapat melihat atau memojokkan masyarakat saja tentang fenomena rakyat ingin diberi uang dari caleg. Kenapa paradigma itu terbentu? Apa dasar pemikiran masyarakat melakukan hal demikian. Jika ditelusuri bahwa dari sebagian pemilih memandang bahwa pencoblosan (pencontrengan) mereka adalah untuk membantu caleg agar duduk di kursi kekuasaan, jika motivasinya menolong, maka perlu ada timbal balik dari yang ditolong (caleg), inilah paradigma yang berkembang. Fenomena tersebut merupakan penyelewengan dari tujuan demokrasi itu sendiri.
Sejatinya politik itu merupakan sikap yang idealis sebab ruang lingkupnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang menyebabkan politik harus idealis. Namun dalam kenyataannya, politik banyak ditunggangi ditunggangi kepentingan pragmatis, baik dari calon legislatif maupun dari calon pemilih.

Berbagai pengarahan tak ada gunanya selama sistem masih bertolak-belakang dengan idealisme
Sejatinya, politik itu mengajarkan konsep yang ideal: ilmiah dan alamiah. Ilmiah, bermakna bahwa suatu kebijakan sepatutnya berdasarkan kepada aspek ilmu pengetahuan, mengingat bangsa dan negara merupakan suatu lembaga besar yang membutuhkan kebijaksanaan dan keadilan universal.
Alamiah bermakna, bahwa lahirnya sosok/calon pemimpin merupakan produk dari penggemblengan di masyarakat, lahir dari perjuangan, terobosan, inovasi yang eksistensinya diakui oleh masyarakat luas. Lawan kata dari alamiah adalah instan, apabila paradigma instan dipakai maka orang tiba-tiba bisa terkenal cukup dengan membuat 1.000 spanduk dan intensitas iklan di media massa, maka dalam sekejap orang tersebut dapat dikenal luas.
Kapasitas individu hanya dapat diperoleh melalui proses yang alamiah, mustahil bisa ditemukan dalam sistem yang instan. Sebenarnya tidak sulit untuk menelusuri siapa saja yang memiliki kapasitas pemimpin di negeri besar seperti Indonesia—tidak lebih sulit daripada quick count yang berupaya memprediksi pemilu—Jika diumpamakan kolam, banyak ikan-ikan besar yang layak mendapat perhatian dan kharismatik, namun karena air kolam dibuat keruh oleh ambisi politisi, ikan besar tak terlihat, ikan teri yang didapat.

Jakarta,   Mei 2014



















Daftar Pustaka

G. Sartori, Parties and Party Sistems: A Framework for Analysis. Cambridge: Cambridge University Press, 1976. dikutip oleh Prof Miriam p 405.